Studi Pemikiran Ibnu Miskawaih dalam Kitab Tahdibul Akhlak

Perkembangan arus globalisasi merubah banyak keadaan dalam kehidupan manusia, seperti perkembanagn teknologi dan keleluasaan mengakses apa saja untuk menjawab berbagai permasalahan melalui cara yang praktis. Namun, disisi lain ditemui hal-hal negatif yang disebabkan oleh arus globalisasi, misalnya meningkatkan angka kriminalitas, membuat masyarakat kehilangan kesadaran bersosial, serta dapat menjauhkan seseorang dari nilai-nilai keagamaan [1]. Dampak dari arus globaliasi ini tentunya dapat dirasakan dalam dunia pendidikan. Banyak lembaga pendidikan yang dapat bersaing dalam ranah nasional bahkan internasional, hal tersebut tentunya disebabkan oleh pihak lembaga pendidikan yang dapat beradaptasi dengan arus globalisasi yang terjadi. Namun, disisi lain juga terdapat penyimpangan yang terjadi pada lembaga pendidikan, salah satunya ialah pada kualitas peserta didik yang mulai jauh dari nilai keagamaan seperti menurunnya akhlak atau etika peserta didik [2].

Kemudahan akses terhadap pencarian berbagai informasi terkadang menimbulkan kelalaian bagi para penggunanya. Generasi millennial yang terbiasa dengan teknologi serta penggunaan social media, tidak sedikit yang melakukan perilaku negatif, mengalami crisis moral serta maraknya kenakalan remaja yang terjadi di kalangan para pelajar. Menurut Nunung Unayah dan Muslim Sabarisman, kenakalan remaja pada saat ini sudah banyak yang melebihi batas seperti yang telah diberitakan dalam media, misalnya penggunaan narkoba, free sex, pencurian, tawuran, serta tindakan kriminal lainnya yang berurusan dengan hukum dan menyimpang dari norma-norma masyarakat yang berlaku [3].

Melihat berbagai kenakalan yang telah disebutkan sebelumnya, maka pendidikan berperan penting dalam menangani permasalahan tersebut. Sebagaimana yang telah disampaikan dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab [4]. Isi dari pasal tersebut sudah jelas menyebutkan tentang pendidikan yang memiliki posisi sangat urgent dalam pembentukan watak dengan tujuan mewujudkan peserta didik yang berakhlak mulia. Pendidikan Karakter diharapkan dapat memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan karakter peserta didik, serta dapat mengurangi tingkat kenakalan remaja yang terjadi saat ini. Pengembangan pendidikan karakter dapat diterapkan melalui kurikulum, yaitu dengan cara mengintegrasikan komponen dalam mata pelajaran di sekolah maupun madrasah [5]. 

Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang serupa dengan kajian ini, salah satunya ialah ditulis oleh [6] yang membahas terkait pemikiran Ibnu Miskawaih secara filosofis dalam perspektif Islam, serta konsep pendidikan Ibnu Miskawaih. Penelitian selanjutnya ialah karya dari [7], yaitu pembahasan banyak difokuskan terkait konsep akhlak dan ranah kesempurnaan manusia dalam pandangan Ibnu Miskawaih. Kemudian kajian yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya ditulis oleh [8], dimana artikel tersebut membahas tentang konsep pemikiran Ibnu Miskawaih tentang akhlak serta relevansinya dengan pendidikan saat ini. Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah dipaparkan sebelumnya, belum terdapat analisis secara konkret terkait relevansi dari pendidikan karakter pemikiran Ibnu miskawaih dengan pendidikan di Indonesia. Sehingga tulisan ini bermaksuduntuk menelaah secara filosofis terkait bagaimana konsep pendidikan karakter Ibnu miskawaih dalam kitab karangannya yang berjudul “Tahdzibul Akhlak”, serta relevansinya dengan pendidikan di Indonesia.

 

Metode Penyusunan

Artikel ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Menurut Anwar Sanusi dalam Alimatus Sa’adah dan M. Farhan H., penelitian kualitatif deskriptif ialah suatu penelitian yang lebih mengarahkan pada teknis analisis terhadap data yang telah diperoleh [9]. Adapun jenis dari penelitian ini ialah studi pustaka (library research), dengan mengkaji sumber data primer yaitu karya Ibnu Miskawaih berjudul Tahdzibul Akhlak (Menuju Kesempurnaan Akhlak) yang diterjemahkan oleh Helmi Hidayat. Kemudian peneliti juga menggunakan sumber data sekunder dari berbagai artikel dan buku yang berhubungan dengan objek penelitian. 

Adapun teknik dalam menganalisis data ialah menggunakan content analysis. Menurut Moelong dalam Adistya Wahyu Larasati, dkk., mengkaji isi (content analysis) ialah suatu metode dengan berbagai susunan prosedur dalam menarik kesimpulan, dimana data bersumber dari buku atau dokumen dan dilakukan secara objektif [10]. Metode tersebut digunakan untuk mengkaji pemikiran dari Ibnu Miskawaih terhadap pendidikan karakter dalam Islam, serta relevansi dari pemikiran Ibnu Miskawaih dengan pendidikan di Indonesia.

 

Biografi dan Karya-Karya Ibnu Miskawaih

Nama lengkap Ibnu Miskawaih ialah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’kub bin Miskawaih. Beliau berasal dari dari Ray, kemudian di kota Ishfan beliau menetap dan meninggal pada tahun 421 H atau pada tahun 1030 M. Beliau terkenal sebagai seorang pengkaji dan sejarawan  dengan julukan Al-Khazin (Pustakawan).

Ibnu Miskawaih memiliki pemikiran yang tajam karena ia sering berkecimpung dalam bidang kimia. Selain itu, beliau juga terkenal dengan budi pekerti yang luhur serta perkataannya yang lemah lembut dan mudah difahami. Oleh karena itu, beliau terkenal dengan tokoh dalam etika Islam, dengan menuliskan pemikirannya tersebut dalam sebuah karya yang cukup terkenal yaitu Tahdzibul Akhlak [11].

Dilihat dari sejarahnya, masa hidup Ibnu Miskawaih berada di masa pemerintahan Bani Abbas atas pengaruh Bani Buwaih. Adapun puncak kemegahan dari kekuasaan Bani Buwaih tercatat pada pemerintahan ‘Adhud Ad-Daulah (367372 M). Kemudian pada masa tersebut Ibnu Miskawaih dipercaya untuk menjabat sebagai bendaharawan sekaligus dikenal sebagai filsuf, tabib, ilmuwan dan sastrawan. Hal yang membuatnya tertarik untuk mengkaji dalam bidang etika ialah karena beliau merasa resah dengan keadaan masyarakat pada masa itu yang mengalami kemerosotan moral, sehingga beliau memberikan perhatian lebih untuk mengkajinya sampai beliau mendapat julukan sebagai Bapak Etika Islam [12].

Selain karyanya yang berjudul Tahdzibul Akhlak, Ibnu Miskawaih menulis beberapa buku dalam bidang kelimuan yang lain, seperti tentang sejarah, ketabiban dan sastra yang dinilai bermanfaat, yaitu: Tajarib Al-Umam, Ta’qub Al-Himam, Thaharat Al-Nafs, Adab Al-A’rab wa Al-Firs, Mukhtar Al-Asy’Ar, Jawidan Khird,

Tartib Al-Sa’adat, Nadim Al-Farid, Nuzhat Namah ‘Alay, Al-Fawz Al-Ashghar fi Ushul Al-Diyanat, Al-Fawz Al-Akbar, Al-Siyasat, Al-Dawiyah Al-Mufridah dan Al-Asyribah. Selain karya yang telah disebutkan sebelumnya, masih banyak karyakarya dari Ibnu Miskawaih yang belum ditemukan sampai saat ini [13].


Konsep Jiwa menurut Ibnu Maskawaih

Sebelum mempelajari tentang akhlak, menurut Ibnu Miskawaih hal yang paling penting ialah mempelajari tentang jiwa manusia. Jiwa merupakan sesuatu yang sifatnya immaterial, berbeda dengan bentuk tubuh pada manusia dan tidak termasuk bagian dari tubuh. Oleh karenanya, pada diri manusia terdapat dua hal yang sifatnya kontradiktif, yaitu antara badan dan jiwa. Badan (jasad) hanya dapat melihat kebenaran yang sifatnya secara inderawi, namun ia tidak dapat menyalahkan apa yang telah ditangkapnya. Kemudian jiwa lebih dari itu, karena jiwa yang dapat menilai bahwa indera melakukan hal benar atau salah. Jika dilihat dari cara kerjanya, indera membenarkan apa yang ditangkap, kemudian jiwa menerima itu sebagai bukti, namun dapat menolak kesaksian dari indera [14]. Contoh sederhananya adalah peristiwa ketika ada sebuah pensil dicelupkan ke dalam gelas yang dipenuhi air, secara inderawi pensil akan terlihat seperti keadaan patah, namun jiwa dapat menyalahkan hal tersebut dikarenakan ternyata pensil tersebut tidak patah, hanya saja pensil yang berada di bawah air dan yang berada di atasnya memang terlihat tidak simetris.

Ibnu Miskwaih membagi daya jiwa menjadi tiga bagian, diantaranya ialah Al-Quwwah Al-Natiqah, Al-Quwwah Al-Ghadhabiyah dan Al-Quwwah AlSyahwiyah. Adapun yang dimaksud dengan Al-Quwwah Al-Natiqah ialah daya berfikir, kognitif atau jiwa rasional, dimana seseorang dapat melihat dan mempertimbangkan realitas yang yang terjadi. Sedangkan Al-Quwwah AlGhadhabiyah ialah daya emosi atau amarah seperti halnya ingin berkuasa, berani, ingin mendapat kehormatan atau dikenal dengan sifat kebinatangan. Kemudian yang terakhir adalah Al-Quwwah Al-Syahwiyah, yaitu daya syahwat atau nafsu seperti makan, minum, seks dan kenikmatan inderawi lainnya. Adapun hubungan dari ketiganya ialah ketika salah satu dari daya jiwa tersebut lebih dominan, maka akan merusak dua daya jiwa yang lainnya. Namun ketika daya berfikir yang paling dominan, maka daya amarah dan syahwat akan terkalahkan. Oleh karena itu, dari ketiga daya jiwa yang telah disebutkan, tingkatan yang paling tinggi adalah daya berfikir (Al-Quwwah Al-Natiqah), dikarenakan jika manusia mampu berfikir secara rasional, maka ia akan mampu menemukan kebaikan [15]. 

Empat Pilar Kebajikan Ibnu Miskawaih

Selain terkenal dengan konsep jiwa yang telah dibahas sebelumnya, Ibnu Miskawaih juga memberikan konsep tentang kebajikan, diantaranya adalah kearifan (al-hikmah), kesederhanaan (al-Iffah), keberanian (al-Syaja’ah) dan keadilan (al-‘Adalah). Dari keempat pilar kebajikan tersebut, kemudian melahirkan indikator-indikator yang termasuk ke dalam setiap pilar kebajikan yang telah disebutkan sebelumnya, diantaranya [16]:

  1. Kearifan (Al-Hikmah): Pandai, Ingat, Berpikir, Cepat memahami, jernih pikiran, mampu belajar dengan mudah
  2. Kesederhanaan (Al-Iffah): Rasa malu, Sabar, Tenang, Integritas, Dermawan, Puas, Loyal, Anggun berwibawa, Disiplin, wara', Optimis
  3. Keberanian (Al-Syaja'ah): Besar jiwa, Menguasai diri, Tegar, Tenang, Tabah, Perkasa, Bekerja dengan ulet
  4. Keadilan (Al-'Adalah): Bersahabat, Bersemangat sosial, Memberi Imbalan yang baik, Cinta kasih, Jauh dari dengki, Berwibawa, baik dalam bekerjasama.

Menurut Ibnu Miskawaih, keempat pilar diatas berada diantara dua keburukan. Artinya keempat pilar kebajikan tersebut berada pada posisi tengah diantara ujung dua keburukan yang sifatnya kurang ataupun lebih. Sederhananya ialah jika sesuatu belum sampai pada posisinya maka bernilai buruk, kemudian jika sesuatu itu melebihi dari posisinya juga bernilai buruk. Misalnya seperti kearifan yang berada diantara bodoh dan dungu, keberanian berada diantara pengecut dan sembrono, dermawan berada diantara boros dan kikir. Adapun keempat pilar kebajikan yang telah disusun oleh Ibnu Miskawaih merupakan sebuah konsep dari gambaran akhlak manusia. Namun disamping itu, keempat pilar kebajikan tersebut tidak akan mampu tercapai kecuali dengan cara bergaul atau bersosialisasi [17]. Oleh karena itu, seseorang memerlukan lawan bicara atau sebuah komunitas agar ia dapat mencapai kebajikan tersebut yang tidak dapat diperoleh dengan cara menyendiri.   


Konsep Pendidikan Karakter Ibnu Miskawaih

Istilah karakter menurut Suyatno dalam Setiawan ialah cara berperilaku dan berpikir yang menunjukkan ciri khas dari seseorang dalam hidup dan bekerjasama, baik di lingkup keluarga, masyarakat maupun negara [18]. Sedangkan Maragustam mengartikan karakter sebagai sifat utama yang menjadi kesatuan dalam pikiran, perasaan, keyakinan, dan perilaku seseorang, sebagai pembeda dengan orang lain. Adapun pendidikan karakter ialah suatu upaya dalam menanamkan nilai-nilai kepada peserta didik melalui pendidikan, pembiasaan, pengalaman, rekayasa lingkungan, aturan, dan pengorbanan. Kemudian hal tersebut diselaraskan dengan nilai-nilai intrinsik yang ada dalam diri peserta didik, yaitu sebagai landasan berpikir, berkeyakinan, bersikap, dan berperilaku secara sadar serta bebas [19].Ibnu Miskawaih mendefinisikan karakter sebagai kondisi jiwa yang melakukan tindakan tanpa melalui proses berfikir atau melalui pertimbangan secara mendalam, lebih singkatnya terjadi secara spontan. Keadaan jiwa tersebut terbagi menjadi dua, yaitu karakter alamiah dan karakter melalui latihan dan kebiasaan. Pertama, karakter yang sifatnya alamiah atau bawaan ialah sifat pada diri seseorang yang mudah bereaksi atau terpengaruh oleh hal-hal sederhana. Seperti mudah sedih hanya karena hal sederhana, mudah marah karena hal sepele, tertawa tebahak-bahak karena hal yang sifatnya biasa saja, mudah kaget karena suara gemerisik. Kedua, karakter yang diperoleh dari kebiasaan dan latihan, yaitu terciptanya suatu kebiasaan yang awalnya dilakukan karena ketidaksengajaan kemudian dilakukan secara berulang-ulang, sehingga pada akhirnya membentuk karakter [20].Para cendekiawan klasik berbeda pendapat tentang keadaan jiwa tersebut, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa karakter bersifat alamiah saja, bahkan ada yang berpendapat karakter alamiah itu tidak ada. Namun ditemui pendapat yang berada di posisi ketiga, yaitu karakter sifatnya alamiah dan dapat berubah secara cepat atau lambat melalui pembelajaran atau nasihat-nasihat yang mulia. Oleh karena itu, pada karakter yang sifatnya dapat dirubah inilah menurut Ibnu Miskawaih dapat dilakukan melalui jalan pendidikan. Sehingga dalam pencapaiannya, pendidikan mampu mengarahkan peserta didik untuk memiliki akhlak yang baik. Pendapat tersebut diungkapkan oleh Ibnu Miskawaih dikarenakan dalam pemikirannya tentang pendidikan karakter banyak dipengaruhi oleh Filsuf Yunani yaitu Aristoteles yang terkenal dengan filsafat etikanya. Menurut Aristoteles watak buruk pada manusia dapat dirubah oleh pendidikan, meskipun sifatnya tidak mutlak. Misalnya dengan cara bimbingan, serta pengajaran yang sifatnya berkelanjutan, sehingga dapat berpengaruh terhadap peserta didik. Adapun respon dan kondisi dari peserta didik juga berbeda-beda, dikarenakan ada yang menerima pendidikan dengan cepat dan ada yang dapat menerima pendidikan dengan lambat [21]. Oleh karena itu, tidak dapat disamakan antara satu peserta didik dengan yang lainnya, serta dalam pengembangannya seorang pendidik harus dapat melihat potensi dari setiap peserta didik.

a. Tujuan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter menurut Ibnu Miskawaih semata-mata bertujuan agar manusia mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan. Manusia tersusun dari berbagai bagian, maka setiap substansi yang ada pada dirinya seharusnya memiliki kekhasan yang berbeda dengan benda lain di alam semesta ini, agar nantinya ia dapat mencapai kesempurnaan. Ibnu Miskawaih menyebutkan bahwa kesempurnaan manusia dapat diraih dengan cara sinkronisasi antara sifat kognitif dengan sifat praktis [22]. Oleh karena itu, pemahaman dan pengetahuan tidaklah sempurna jika tidak ditunjang oleh suatu perbuatan (action), dimana suatu pemahaman akan tertuangkan melalui perilaku yang menjadi output atau sebagai pelengkap dari pemahaman tersebut.
Adapun yang dimaksud kebahagiaan atau As-Sa’adah menurut M. Abdul Haq Ansari dengan mengartikan As-Sa’adah sebagai Happiness saja dirasa kurang tepat, karena kata As-Sa’adah adalah konsep komprehensif yang mengandung beberapa indikator, seperti kebahagaiaan (Happiness), keberhasilan (Success), kemakmuran (Prosperity), kesenangan (blessedness), kesempurnaan (perfection), dan kecantikan (beautitude) [23]. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan karakter menurut Ibnu Miskawaih ialah tercapainya kesempurnaan sebagai manusia serta mendapatkan kebahagiaan secara menyeluruh. 

b. Kurikulum Pendidikan Karakter

Materi yang dapat disampaikan dalam pedidikan karakter menurut Ibnu Miskawaih terbagi menjadi tiga, yaitu: Yang pertama, hal yang bersifat wajib bagi kebutuhan manusia secara fisik, dicontohkan seperti pelaksanaan shalat, puasa dan sa’i; Kedua, hal yang wajib bagi kebutuhan jiwa, misalnya pembahasan akidah, mengesakan Allah atas kebesaran-Nya, serta dapat memotivasi untuk cinta ilmu; Ketiga, hal yang wajib bagi hubungan antar sesama, ialah dicontohkan seperti ilmu mu’amalat, perkawinan, pertanian, saling menasihati, dan lain sebagainya. Menurut Ibnu Miskawaih, materi-materi yang diajarkan dalam berbagai bidang keilmuan tidaklah terlepas dari bentuk pengabdian kepada Tuhan dan mengarahkan kepada misi pembentukan pribadi yang mulia.

c. Pendidik dan Peserta Didik

Seorang guru atau pendidik dalam pandangan Ibnu Miskwaih memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan orangtua, bahkan berada diantara kecintaan kepada Tuhan dan kecintaan terhadap orangtua. Hal tersebut dikarenakan peran guru yang bertanggungjawab dalam membentuk karakter dan mendidik kejiwaan peserta didik. Ibnu Miskawaih menyebutkan bahwa guru merupakan bapak rohani, yaitu orang yang dimuliakan dan diberikan kebaikan ilahi, dari peserta didik untuk mencapai sebuah kearifan yang diisi dengan sifat kebijaksanaan. Adapun orangtua tetap berperan sebagai pendidik yang pertama dalam mengajarkan syariat sebagai acuan yang utama. Oleh karena itu, diperlukan adanya keharmonisan antara orangtua dengan guru yang didasarkan atas cinta kasih [24].

Berdasarkan pendapat Ibnu Miskawaih sebelumnya, guru dinilai memiliki posisi yang sangat penting atau dapat disejajarkan dengan posisi nabi, dikarenkaan posisinya setelah kecintaan terhadap Tuhan. Guru sebagai orang yang memiliki peran penting terhadap pendidikan memiliki tugas yang harus diperhatikan, yaitu guru yang berhasil ialah guru yang mampu menjadi manusia ideal. Artinya menjadi manusia ideal yang harus dicapai oleh guru semata-mata ialah agar ia dapat mendidik dan mengajarkan serta membimbing peserta didik dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang baik serta memiliki karakter yang terpuji. Dikarenakan jika ia belum sampai pada tahap itu, maka posisi guru akan sama dengan seorang teman seperti biasanya.

Tinjauan Filosofis Pemikiran Ibnu Miskawaih

Pendidikan karakter dalam analisis filsafat pendidikan Islam menurut Maragustam dalam merevolusi mentalitas manusia ialah agar membentuk good character, dimana jika ditinjau dari filsafat pendidikan Islam, maka cenderung kepada dua aliran, yaitu Positif-Aktif dan Dualis-Aktif. Adapun aliran Positif-Aktif ialah memiliki pandangan bahwa manusia terlahir dengan membawa sisi kebaikan (good character) dan aktif memengaruhi lingkungan sekitarnya. Sedangkan ketika ada perilaku buruk (bad character), maka hal tersebut terjadi secara aksidental yang sifatnya hanya sementara. Dalam aliran ini, manusia dilahirkan secara fitrah dan mengarah kepada kebaikan secara kodrati, kemudian lingkunganlah yang membuatnya melakukan penyimpangan [25].

Sedangkan aliran Dualis-Aktif berpandangan bahwa manusia memiliki sifat ganda sejak lahir, yaitu ketika ia lebih cenderung pada good character maka ia memperolehnya dari sifat alamiah yang terpengaruh oleh hereditas (al-waarisah), sedangkan kecenderungan bad character merupakan pengaruh dari lingkungan. Adapun good character akan dibantu dengan kekuatan spiritual, akal dan hati yang sehat, serta jiwa yang damai (nafsu muthmainnah). Sedangkan bad character didorong oleh jiwa yang sifatnya destruktif (nafsu amarah bissu’), nafsu tercela dan peragu (nafsu lawwamah), serta bisikan-bisikan yang mengarah kepada kesesatan 27.

Berdasarkan pemaparan dua aliran filsafat pendidikan sebelumnya, maka pemikiran Ibnu Miskawaih termasuk dalam golongan Dualis-Aktif. Dimana aliran ini relevan dengan pendapat Ibnu miskawaih yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa manusia memiliki karakter bawaan atau fitrah (alamiah), namun karakter juga dapat berubah dengan cara dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti pendidikan, pelatihan, lingkungan social atau sosio-kultural. Oleh karena itu, dengan konsep dari aliran Dualis-Aktif, karakter dapat dibina dan diarahkan agar manusia senantiasa berperilaku baik.

Strategi Pembentukan Karakter Peserta Didik

Terdapat enam rukun strategi dalam pembentukan mental good character menurut Maragustam, 28 yaitu: Rukun pertama, Moral Acting (tindakan moral) dengan proses habituasi dan pembudayaan nilai-nilai kebajikan. Adapun moral acting ialah outcome dari moral knowing dan moral feeling, yaitu memberikan sebuah kesempatan terhadap peserta didik agar melakukan tindakan moral sebagai bentuk kesadaran secara individual ataupun sosial, yang tidak bebas sepenuhnya sebagai proses dalam bermasyarakat. Pembiasaan yang dimaksud ialah tidak hanya terpaku pada perilaku saja, namun juga termasuk pembiasaan dalam berpikir, berkeyakinan serta berperasaan. Oleh karena itu, suatu pembiasaan sangatlah penting untuk diterapkan kepada peserta peserta didik, agar pengetahuan tentang kebaikan dapat teraplikasikan dan menjadi sebuah karakter melalui proses pembiasaan tersebut. Rukun Kedua, Moral Knowing (pengetahuan tentang kebajikan moral), artinya peserta didik mampu memahami, menyadari dan berpikir logis tentang perilaku yang baik dan perilaku yang amoral. Adapun perilaku seseorang dinilai berkarakter tentunya berdasarkan pemahaman pada tindakan sadar dan kebebasan dari si pelaku, yaitu dengan pengetahuan yang cukup terhadap apa yang dilakukan dan dikatakannya.

Rukun Ketiga, Moral feeling dan loving (merasakan dan mencintai nilainilai kebajikan), yaitu suatu kesadaran secara emosional terhadap nilai-nilai dari diri peserta didik terhadap nilai-nilai pada diri orang lain, dimana mereka dapat merasakan seperti ada kewajiban untuk melakukan kebajikan serta perasaan bersalah ketika melakukan tindakan amoral. Hal ini dimaksudkan untuk mengimbangi terhadap pengetahuan berperilaku baik, karena dengan adanya sisi emosional dari dalam diri, maka peserta didik akan lebih mengerti apa yang seharusnya ia lakukan dan yang seharusnya dihindari, serta memahami bagaimana tingkah laku orang lain. Rukun Keempat, Moral Modeling (keteladanan) dari lingkungan sekitar, hal ini dikarenakan manusia lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Konsep keteladanan ini sangat diperlukan bagi peserta didik, baik dalam keluarga, sekolah bahkan masyarakat, karena pada dasarnya peserta didik akan belajar dari apa yang ia lihat dan alami di sekitarnya. Rukun Kelima, Pertaubatan, yaitu melaksanakan takhalli, tahalli dan tajalli. Istilah taubat disini ialah menyadari dan menyesali secara total terhadap perbuatan yang telah dilakukan, hal ini bertujuan agar nantinya peserta didik dapat melakukan introspeksi dan membangun optimism untuk menjadi prilaku yang lebih baik kedepannya. Oleh karena itu, dibutuhkan tiga rukun dalam mekakukan pertaubatan, diantaranya: takhalli (membersihkan diri dari dosa), tahalli (berperilaku terpuji) dan tajalli (pemancaran cahaya batin) [26].

Relevansi Pemikiran Ibnu Miskawaih dengan Pendidikan di Indonesia

Pendidikan karakter atau akhlak belum dapat diaplikasikan sebelum mampu mengenali jiwa itu sendiri. Pendapat Ibnu Miskawaih tersebut menjadi sebuah anjuran atau masukan dalam pendidikan, yaitu sebelum memberikan ilmu pengetahuan terhadap peserta didik, maka diharapkan seorang pendidik dapat mengetahui potensi yang dimiliki mereka. Dengan melalui metode tersebut, maka dalam proses pendidikan akan terjadi dialogis yang interaktif, yaitu pendidik mampu mengoptimalkan proses pendidikan dengan cara mengoptimalkan potensi yang dimiliki peserta didik. Maka dari itu, pendidikan tidak hanya dirumuskan oleh pendidik saja, namun peserta didik juga turut andil dalam tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri. 

Adapun pemikiran Ibnu Miskawaih dirasa cukup relevan dengan kebijakan kurikulum di Indonesia, yaitu terkait kebijakan mata pelajaran Budi Pekerti yang tertera dalam [27], disebutkan dalam pasal 2 bahwa salah satu tujuan dari Penumbuhan Budi Pekerti ialah menumbuhkembangkan kebiasaan yang baik sebagai bentuk pendidikan karakter sejak keluarga, sekolah, dan masyarakat. Oleh karena itu, diharapkan adanya interaksi yang harmonis antara pihak keluarga, sekolah dan masyarakat, sehingga terdapat keselarasan misi serta capaian yang sama dalam membentuk karakter seorang anak. dikarenakan karakter peserta didik seperti pendapat Ibnu Miskawaih dapat dirubah melalui lingkungannya, baik bersifat pendidikan maupun sosio-kultural. Maka tiga ruang tersebut, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakatlah yang berperan penting dalam membentuk karakter peserta didik.

Selain itu, program pengabdian masyarakat yang biasa dilakukan oleh kalangan kampus atau universitas di Indonesia, merupakan program yang dilakukan untuk menunjang tercapainya kesejahteraan masyarakat serta membantu para mahsiswa untuk memenuhi kewajiban akademik. Menurut Ibnu Miskwaih tujuan dari pendidikan ialah untuk mencapai sebuah kebajikan dan kebahagiaan. Hal tersebut tentunya relevan dengan program pengabdian masyarakat seperti KKN, karena adanya interaksi antara masyarakat dan mahasiswa dalam program tersebut dapat memperoleh kebaikan serta kebahagiaan yang dapat dirasakan bersama. Kemudian program pengabdian masyarakat juga relevan dengan pendapat Ibnu Miskawaih yang menyebutkan tentang tercapainya nilai-nilai kebajikan yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dapat diperoleh melalui cara bersosial.

Kesimpulan

Pemikiran Ibnu Miskawaih membahas pendidikan karakter dimulai dari tentang pengenalan jiwa yang terbagi menjadi tiga daya jiwa, yaitu Al-Quwwah AlNatiqah (kognitif dan rasional), Al-Quwwah Al-Ghadhabiyah (emosi), dan AlQuwwah Al-Syahwiyah (nafsu syahwat). Kemudian terdapat nilai-nilai kebajikan yang berada pada titik tengah yang seharusnya dimiliki oleh manusia yaitu kearifan, kesederhanaan, keberanian dan keadilan. Selanjutnya Ibnu Miskawaih memaknai karakter sebagai siat manusia yang dilakukan secara spontanitas tanpa melalui proses berpikir secara mendalam yang terbagi menjadi dua, yaitu karakter yang sifatnya bawaan atau alamiah dan yang sifatnya terbentuk dari kebiasaan serta latihan. Pada sisi inilah kemudian Ibnu Miskawaih menyebutkan bahwa karakter manusia itu sifatnya alami namun dapat dirubah dan dilatih melalui cara pendidikan, karena karakter manusia itu dipengaruhi oleh faktor lingkungannya, baik dari pendidikan, lingkungan sosial atau sosio-kultural. Tujuan dari pendidikan karakter menurut Ibnu Miskawaih ialah agar peserta didik mencapai nilai-nilai kebajikan serta memperoleh kebahagiaan. Kemudian materi yang diajarakan terbagi menjadi tiga, yaitu hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, hal bersifat wajib bagi kebutuhan jiwa dan hal yang wajib bagi kebutuhan antar sesama. Ibnu Miskawaih menempatkan posisi pendidik diatas posisi orangtua, yaitu antara kecintaan kepada Tuhan dan kecintaan pada orangtua, maka guru memiliki peran penting dalam membimbing peserta didik agar memiliki akhlak yang baik. Berdasarkan tinjauan filosofis, Ibnu Miskawaih termasuk pada aliran Dualis-Aktif dan memiliki enam rukun dalam strategi pembentukan karakter yaitu habituasi, moral knowing, moral feeling dan loving, keteladanan dan pertaubatan. Adapun relevansi pemikiran Ibnu Miskawaih dengan Pendidikan di Indonesia ialah dapat ditemui pada kebijakan yang disebutkan dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti dan berbagai bentuk kegiatan pengabdian masyarakat.

Daftar Pustaka

Afidah, Ifa. “Pendidikan Akhlaq Perspektif Pemikiran Ibnu Miskawaih (Tokoh

Filosof Muslim Masa Abad Tengah).” FALASIFA: Jurnal Studi Keislaman 10, no. 1 (2019): 17–26.

Erviana, Vera Yuli. “Penanganan Dekadensi Moral Melalui Penerapan Karakter Cinta Damai Dan Nasionalisme.” Jurnal Penelitian Ilmu Pendidikan 14, no. 1 (2021): 1–9.

Fikri, Ali. “Pengaruh Globalisasi Dan Era Disrupsi Terhadap Pendidikan Dan NilaiNilai Keislaman.” Sukma: Jurnal Pendidikan 3, no. 1 (2019): 117–36.

Indonesia, PRESIDEN REPUBLIK. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Departemen Pendidikan Nasional, 2003.

Larasati, Adistya Wahyu, Rosichin Mansur, and Ibnu Jazari. “PEMIKIRAN

SUFISTIK IMAM AL-GHAZALI (Studi Analisis Dalam Kitab AlMunqidh Min Adh-Dhalal).” Vicratina: Jurnal Pendidikan Islam 4, no. 3 (2019): 10–17.

Maragustam. Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter. Yogyakarta: Pascasarjana FITK UIN Sunan Kalijaga, 2020.

———. Pembentukan Karakter Anak Bangsa (Perspektif Filsafat Pendidikan Islam). Yogyakarta: Pascasarjana FITK UIN Sunan Kalijaga, 2018.

Maragustam, Maragustam. “Paradigma Revolusi Mental Dalam Pembentukan Karakter Bangsa Berbasis Sinergitas Islam Dan Filsafat Pendidikan.” Jurnal Pendidikan Agama Islam 12, no. 2 (2015): 161–75.

Miskawaih, Ibn. Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj. Helmi Hidayat. Bandung: Mizan, 1994.

Mulia, Harpan Reski. “Pendidikan Karakter: Analisis Pemikiran Ibnu Miskawaih.” Tarbawi: Jurnal Ilmu Pendidikan 15, no. 1 (2019): 39–51. “Permendikbud Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti,” n.d. Rahmaniyah, Istighfarotur. “Pendidikan Etika: Konsep Jiwa Dan Etika Perspektif Ibnu Miskawaih Dalam Kontribusinya Di Bidang Pendidikan.” UIN-Maliki Press, 2010.

Saodah, Saodah, Qonita Amini, Khofifah Rizkyah, Siti Nuralviah, and Nurvia

Urfany. “Pengaruh Globalisasi Terhadap Siswa Sekolah Dasar.” PANDAWA 2, no. 3 (2020): 375–85.

Saadah, Alimatus, and M Farhan Hariadi. “Pemikiran Ibnu Miskawaih (Religius-

Rasional) Tentang Pendidikan Dan Relevansinya Di Era Indsutri 4.0.” Jurnal Penelitian Keislaman 16, no. 1 (2020): 16–30. Setiawan, Deny. “Peran Pendidikan Karakter Dalam Mengembangkan Kecerdasan Moral.” Jurnal Pendidikan Karakter, no. 1 (2013).

Unayah, Nunung, and Muslim Sabarisman. “Fenomena Kenakalan Remaja Dan Kriminalitas.” Sosio Informa 1, no. 2 (2016).



[1] Ali Fikri, “Pengaruh Globalisasi Dan Era Disrupsi Terhadap Pendidikan Dan Nilai-Nilai Keislaman,” Sukma: Jurnal Pendidikan 3, no. 1 (2019): 117–36.
[2] Saodah Saodah et al., “Pengaruh Globalisasi Terhadap Siswa Sekolah Dasar,” PANDAWA 2, no. 3 (2020): 375–85.
[3] Nunung Unayah and Muslim Sabarisman, “Fenomena Kenakalan Remaja Dan
Kriminalitas,” Sosio Informa 1, no. 2 (2016).
[4] presiden Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Departemen Pendidikan Nasional, 2003).
[5] Vera Yuli Erviana, “Penanganan Dekadensi Moral Melalui Penerapan Karakter Cinta Damai Dan Nasionalisme,” Jurnal Penelitian Ilmu Pendidikan 14, no. 1 (2021): 1–9.
[6] Harpan Reski Mulia, “Pendidikan Karakter: Analisis Pemikiran Ibnu Miskawaih,” Tarbawi: Jurnal Ilmu Pendidikan 15, no. 1 (2019): 39–51.
[7] Ifa Afidah, “Pendidikan Akhlaq Perspektif Pemikiran Ibnu Miskawaih (Tokoh Filosof Muslim Masa Abad Tengah),” FALASIFA: Jurnal Studi Keislaman 10, no. 1 (2019): 17–26.
[8] Alimatus Saadah and M Farhan Hariadi, “Pemikiran Ibnu Miskawaih (Religius-Rasional) Tentang Pendidikan Dan Relevansinya Di Era Indsutri 4.0,” Jurnal Penelitian Keislaman 16, no. 1 (2020): 16–30.
[9] Sa'adah and Hariadi.
[10] Adistya Wahyu Larasati, Rosichin Mansur, and Ibnu Jazari, “Pemikiran Sufistik Imam Al-Ghazali (Studi Analisis Dalam Kitab Al-Munqidh Min Adh-Dhalal),” Vicratina: Jurnal Pendidikan Islam 4, no. 3 (2019): 10–17.
[11] Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj, Helmi Hidayat. Bandung: Mizan, 1994.
[12] Saadah and Hariadi, “Pemikiran Ibnu Miskawaih (Religius-Rasional) Tentang
Pendidikan Dan Relevansinya Di Era Indsutri 4.0.”
[13] Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj.
[14] Miskawaih.
[15] Miskawaih.
[16] Miskawaih.
[17] Miskawaih.
[18] Deny Setiawan, “Peran Pendidikan Karakter Dalam Mengembangkan Kecerdasan Moral,” Jurnal Pendidikan Karakter, no. 1 (2013).
[19] Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter (Yogyakarta: Pascasarjana FITK UIN Sunan Kalijaga, 2020).
[20] Istighfarotur Rahmaniyah, “Pendidikan Etika: Konsep Jiwa Dan Etika Perspektif Ibnu Miskawaih Dalam Kontribusinya Di Bidang Pendidikan” (UIN-Maliki Press, 2010).
[21] Rahmaniyah.
[22] Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj.
[23] Rahmaniyah, “Pendidikan Etika: Konsep Jiwa Dan Etika Perspektif Ibnu Miskawaih
Dalam Kontribusinya Di Bidang Pendidikan.” 24 Rahmaniyah.
[24] Rahmaniyah.
[25] Maragustam Maragustam, “Paradigma Revolusi Mental Dalam Pembentukan Karakter Bangsa Berbasis Sinergitas Islam Dan Filsafat Pendidikan,” Jurnal Pendidikan Agama Islam 12, no. 2 (2015): 161–75.
[26] Maragustam.
[27] “Permendikbud Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti,” n.d.


Posting Selanjutnya Posting Sebelumnya
No Comment
Tambah Komentar
comment url