Pemikiran Pendidikan Al-Qabisi dan Implikasinya Terhadap Kurikulum Pendidikan Islam
Pendahuluan
Proses pendidikan berlangsung
sepanjang sejarah dan sudah berkembang sejalan dengan adanya perkembangan
sosial budaya manusia di bumi. Pengembangan budaya manusia yang bersumber dan
berpedoman pada ajaran islam yang sudah tertulis di kitab Al Qur’an dan
terjabar dalam Sunnah Rasul.
Menurut islam, pendidikan merupakan corak
hitam putihnya perjalanan hidup seseorang. Di dalam Ajaran islam telah
menetapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu kegiatan yang wajib hukumnya
bagi laki laki dan perempuan, dan sangat dibutuhkan seumur hidup. Kedudukan
tersebut secara tidak langsung telah menempatkan pendidikan sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dengan hidup dan kehidupan umat manusia. Dalam hal ini para
ilmuwan berpendapat bahwa pendidikan tidak hanya sebagai salah satu kebutuhan
hidup, sebagai bimbingan, sebagai sarana pertumbuhan melainkan juga
mengembangkan ke arah tujuan akhir serta membentuk kemanusiaan dalam citra
Tuhan.
Dalam berkembangnya, filsafat
sebagai hasil penilaian para filosof, telah melahirkan berbagai macam
prespektif. Beberapa prespektif saling mendukung, ada yang berbeda dan saling
berlawanan antara satu dengan yang lain, perbedaan tersebut disebabkan oleh
pendekatan yang digunakan berbeda beda, sehingga dapat menghasilkan kesimpulan
yang berbeda pula.
Dalam dunia pendidikan islam, ada
berbagai macam teori tentang pendidikan islam dan berbagai kurikulum pendidikan
yang digunakan. Seperti hanya pendapat dari al-Qabisi bahwa kurikulum
pendidikan islam merupakan salah satu teori atau model yang sangat sesuai
diaplikasikan dalam dunia pendidikan kontemporari. Ciriciri kerelevanannya
pengamalan kurikulum pendidikan berteraskan Islam selama ini dapat diperincikan
kepada dua perkara.
Di antara perincian perkara tersebut
yaitu; pertama, dari segi penyusunannya, yaitu dasar tawazun (keseimbangan) antara
pengetahuan keduniaan dengan pengetahuan akhirat (aspek intelektual dengan
spiritual), antara teorikal mahupun praktikal, dan sesuatu dasar yang
berkaitan, yiaitu bersempena dengan penyesuaian kurikulum pengajaran tersebut
dengan tahap situasi masyarakat sebenar. Kedua, dari segi sudut pembinaan yang
menjadi asas utama terhadap penyusunan kurikulum pendidikan, iaitu diniah dan
ijtimaie. Idea daripada al-Qabisi tentang pendidikan adalah berpandukan kepada
asas-asas Islam, khususnya berkaitan dengan prinsip dan dasar utama yang
menjadi landasan penyusunan pendidikan tersebut. Maka, setiap dasar pendidikan
mestilah mudah untuk dipraktikkan di institusi pendidikan masa kini dan akan
dating. Pemetaan demikian dianalisis oleh Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh Al-Tuwaanisi
(2020), berdasarkan pada konsep keilmuan yang melandasi aliran pemikiran
pendidikan Islam.
Pembahasan
A. Teori Pendidikan Islam
Realitas pendidikan di Indonesia metode
yang digunakan sangat terbatas pada aspek kognitif, meskipun dimensi efektif
menjadi salah satu komponen tujuan pendidikan dalam kurikulum, secara
komprehensif, pendidikan harus saling melengkapi, dan hasilnya mampu memberikan
pencerahan pendidikan ke arah yang diharapkan. Ada hal yang dilakukan untuk
menghimpun prinsip prinsip pendidikan ke dalam enam bagian yaitu:
1. Konsep Pengajaran dan Pembelajaran
Menurut Ibn Abdun, Pengajaran itu
merupakan seorang profesi, yang sangat penting membutuhkan pengetahuan,
keterampilan dan kecermatan, sama seperti pelatihan yang memerlukan kiat,
strategi dan ketelatenan, hingga menjadi cakap dan professional. Karena ini adalah
profesi profesional, maka sangat wajar ketika ulama membedakan antara
pendidikan (tarbiyah) dan pengajaran
(ta’lim).
2. Dasar Dasar Psikologis Proses Pembelajaran
Menurut ahli pendidikan muslim, pemahaman adalah dasar utama pembelajaran. Menurut al-Thusi, siswa tidak bisa memperoleh sesuatu yang tidak ia pahami. Karena itu siswa harus memulai sesuatu pengajaran yang paling dekat untuk dipahami. Pendidik tidak boleh memaksakan mengajarkan materi di luar kemampuan siswa, siswa tidak bisa dicapai nalarnya, hingga beban dan putus asa.
3. Pemahaman Tentang Subjek Didik
Memahami kejiwaan siswa adalah
satu pijakan utama untuk keberhasilan pendidikan. Pendidikan moral dan
kemuliaan tidak cukup diselenggarakan di
sekolah, perlu ditanamkan pada diri anak sejak memulai berkomunikasi.
Selain itu, diperlukan pula sanksi edukatif dalam rangka menunjang kemajuan
pendidikan anak, sesuai situasi keadaan. Di antara sanksi edukatif yaitu;
a. Menunjukkan sikap melarang di hadapan anak, tanpa harus menunjuk
hidungnya.
b. Jika masih saja berlanjut, pendidik boleh melarang secara tegas
dan personal
c. Selanjutnya teguran keras boleh dilakukan
d. Jika teguran keras belum dihiraukan, maka pendidik boleh
menghukum yang setimpal
4. Metode Pengajaran
Pendidikan adalah profesi yang dituntut ketelatenan. Maka dari itu butuh metode yang strategis bagi keberhasilan proses pembelajaran. Guru dituntut serius dalam mendekatkan pemahaman dan materi pelajaran siswa. Hal itu dilakukann secara bertahap dan sistematik. Dimulai dari penyampaian guru tentang materi inti pelajaran, lalu dilanjutkan ke materi selanjutnya. Bahkan guru dituntut untuk memecahkan problem yang sulit, agar siswa mampu menguasai seluruh materi.
5. Pengajar (Guru)
Pembelajaran dilakukan oleh guru sebagai orang yang sudah dewasa pada siswa yang belum dewasa. Sehingga pakar pendidikan Islam memberikan dua prinsip dasar edukatif yang penting. Pertama, buku tidak akan bisa menggantikan posisi guru dalam pengajaran. Bahkan Imam Syafii pernah menyampaikan, siapa yang menggeluti ilmu hanya berdasarkan pada lembaran buku, maka ia telah menyia-nyiakan banyak hal. Kedua, guru adalah pembimbing perkembangan moral bagi siswa. Ibnu Sina menjelaskan, sepantasnya guru tampil cerdas, agamis, bermoral, simpati, kharismatik dan pandai membawa diri. Kebersihan dan kepribadiannya harus selalu diperhatikan sebelum berdiri di depan muridnya. Akhlak guru akan dicontoh banyak siswa, karena pribadi guru laksanakan cerminan pribadi nabi yang patut diteladani.
6. Penyiapan Individu untuk Berpartisipasi Aktif dalam Kehidupan Ekonomi Masyarakat
Aliran rasionalisme menganggap persoalan sosial kemasyarakatan merupakan kebutuhan asasi manusia. Mereka mengaitkan antara keutamaan dengan kerja sama dan partisipasi aktif dalam kehidupan bersama. Keutamaan dapat dicapai melalui amal perbuatan yang mewujud pada kerjasama dan partisipasi aktif dalam interaksi sosial.[1]
B. Riwayat Hidup Al-Qabisi
Al-Qabisi adalah salah seorang tokoh ulama ahli hadis dan seorang pendidik yang ahli, yang hidup pada 324 – 403 H di kota Qaeruan Tunisia. Kehidupan AlQabisi, Karel Brockelman menyatakan bahwa menurut Ibnu Khalikan dan As-Susyuti dalam kitab “ Thabaqat al – Huffaz”, juga mengutip dari Ibnu ‘Ammad dalam kitabnya “ Syadzarat al – Dzahab “, mengatakan : “ Nama lengkap Al-Qabisi adalah Abu Hasan Ali bin Mohammad bin Khalaf Al-Qabisi, lahir pada Rajab, 224 H atau 13 Mei 936 M dan meninggal dunia pada tanggal 3 Rabiul Awal 403 H atau tanggal 23 Oktober 1012 M.[2]
Sejak kecil sehingga rmencapai baligh beliau menuntut ilmu di Kota Qairawan. Antara subjek yang dipelajarinya dengan ulama’-ulama’ di situ seperti Al Quran, hadis, fikih, bahasa Arab dan qira’at. Antara ahli sarjana muslim yang paling banyak memberikan motivasi dan dorongan buatnya adalah Abu al-Abbas al-Ibyani yang sangat genius dalam ilmu fiqh Mazhab Maliki. Antara pendidik yang paling banyak membantunya pula seperti Abu Muhammad Abdullah bin Mansur al-Najibi, Abdullah bin Mansur al-Ashal, Ziyad bin Yunus al-Yahsabiy, Ali Al Dibagh dan Abdullah bin Abi Zaid. Al-Qabisi sebenarnya banyak menuntut ilmu dengan sarjanasarjana Muslim di seluruh dunia seperti di Iskandariah, Tunisia, Qairawan, sekitar negara Mesir dan Afrika (Gamal Abdul Nasir, 2003 dan al-Dibagh, 1968).
Al-Qabisi juga merupakan seorang yang cinta akan ilmu pengetahuan kerana pernah menuntut ilmu daripada ulama-ulama yang masyhur dari Kaherah dan Hijaz dan beberapa sarjana Muslim semasanya. Meskipun sedikit sebanyak mengalami masalah penglihatan, namun beliau mempunyai ilmu agama yang sangat luas merangkumi ilmu pendidikan, ilmu al-Quran, Hadis, Fikih dan Usul serta Bahasa. Beliau adalah seorang penganut sejati dalam aliran Maliki. Al-Qabisi sangat masyhur dalam kalangan cendekiawan Islam yang lain, sangat merendah diri, alim dan tidak menyukai kemewahan (Ahmad Fu’ad al-Ahwani, 1955; Ahmad Khalid 1986; Abdullah Amin al-Nukmy 1994; al-Jumbulati dan Abdul Futuh, 2002). Sebilangan fatwa yang dikeluarkan oleh Al-Qabisi telah banyak diikuti oleh penduduk-penduduk Mesir dan Tunisi.[3]
C. Pemikiran Pendidikan Al-Qabisi dan Implikasinya Terhadap Kurikulum
Pendidikan Islam
1. Pemikiran Pendidikan Al-Qabisi Terhadap
Kurikulum Pendidikan Islam
Al-Qabisi sebagai ahli fiqih dan hadis mempunyai pendapat ten- tang pendidikan yaitu mengenai pengajaran anak-anak di Kutab (sekolah). Barangkali pendapathya tentang pendidikan anak-anak ini merupakan tiang yang pertama dalam pendidikan Islam dan juga bagi pendidikan umat yang lainnya. Dengan lebih memperhatikan dan lebih menekuni, maka mengajar anak-anak sebagai tuntutan bangsa adalah merupakan tiangnya bangsa itu yang hams dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan ibarat seperti membangun piramida pendidikan (institusi pendidikan) berdasarkan fondasi yang kokoh dan kuat, oleh karena itu is tidak menjelaskan kepada kita dalam kitabnya "Al-Mufasshalat" tentang metode pengajaran yang lain, hanya mencukupkan dengan metode yang penting-penting.
Al-Qabisi tidak menentukan usia tertentu untuk memasukan anak di lembaga Al-Kuttab (sekolah). Oleh karena pendidikan anak merupakan tanggung jawab orang tuanya semenjak mulai anak dapat berbicara fasih yakni pada usia mukallaf yang wajib diajar bersembahyang (menurut hadis Nabi). Rasulullah s.a.w. bersabda "Perintahlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat pada waktu usia tujuh tahun dan pukullah mereka pada waktu usia sepuluh tahun”. Hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam dimulai pertama-tama di rumah. Pendidikan anak di lembaga Al-Kuttab hanyalah kelan-jutan daripada tugas pendidikan yang wajib ditunaikan oleh kedua orang tua.
Anak-anak yang belajar di kuttab mula-mula diajar menghafal Al-Qur’an, lalu diajari menulis. Dan pada waktu dzuhur mereka pulang ke rumah masing-masing untuk makan siang, kemudian kembali lagi ke kuttab pada waktu sore hari. Lingkungan sosial pada zaman Al-Qabisi adalah lingkungan religius yang bersih. Karena tinjauan kurikulum pengajaran dari sudut keagamaan memang sesuai dengan kurikulum yang dituntut oleh para ahli agama. Karena ciri khas kurikulum yang baik adalah jika tidak keluar dari tuntutan lingkungan masyarakat. Di antara pendapat Al-Qabisi ialah bahwa agama itu mempersiapkan anak untuk kehidupan yang lebih baik, dan baginya kurikulum pendidikan dapat dibagi menjadi dua kategori yakni kurikulum Ijbari (wajib) dan kurikulum Ikhtiyari (tidak wajib) sebagai berikut:
a. Kurikulum Ijbari (wajib)
Kurikulum yang terdiri dari pada kandungan
ayat-ayat Al-Qur'an seperti, sembahyang dan doa-doa. Sebagian para ahli
mengatakan bahwa ilmu nahwu dan bahasa Arab, keduanya merupakan persyaratan
mutlak untuk memantapkan baca Al-Qur'an, tilawah, menulis dan hapalan.
b. Kurikulum Ikhtiyari (tidak
wajib)
Kurikulum ini berisi ilmu hitung,
dan seluruh ilmu nahwu, bahasa Arab, syair, kisah-kisah Arab.
Menurut pandangan Ibnu Khaldun
bahwa kurikulum yang ber- kembang di kawasan Afrika Utara dan di negara Islam
lain, mengalami perbedaan karma perbedaan geografis, yang kadang-kadang
berkisar pada permasalahan bentuk dan sistemnya.
Metode yang pertama di atas jika
ditinjau dari segi pendidikan modem adalah lebih baik dan berdaya guna, karena
seluruh kawasan negara Islam dengan tanpa syarat menyetujui cara mendidik
dengan mendahulukan pengajaran Al-Qur'an
beserta dengan keharusan mengajarkan
baca dan tulis, nahwu dan bahasa Arab.
Al-Qabisi bersama-sarna ulama ahli
fiqih dan ahli hadis pada masa itu telah berusaha menerangkan kepada kita
sikap/ pandangan mereka tentang kurikulum ijbari (wajib) yang menyatakan bahwa
Al-Qur'an adalah kalam Allah dan menjadi sumber hukum dan tasyri', Ia menjadi
referensi (tempat kembali) kaum muslimin dalam masalah ibadat dan mu'amalat.
Allah mendorong semangat untuk beribadah dengan membaca Al Qur'an dalam Surat
Al Fatir Ayat 29, sebagai berikut:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَتْلوُنَ
كِتَٰبََ ٱللَّهِ وَأقََامُوا۟ ٱلصَّلَوَٰةَ وَأنَفَقوُا۟ مِمَّا رَزَقْنََٰهُمْ
سِرًّا وَعَلََنِيَةً يَرْ جُُونَ ِِ َََٰٰرَةً لَّن َُِوُرَ
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan
mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan
kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan
perniagaan yang tidak akan merugi.
Oleh sebab itu, pendidikan anak menjadi
sebahagian daripada peranan ibu bapanya setelah anak itu boleh berbicara dengan
lancar iaitu pada umur mukallaf yang mewajibkan mereka diajar solat (Syed Farid
al-Atas, 1994). Berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw (mafhumnya):
عن عمرو بن شعيب، عن أبيه، عن جُده -رضي الله عنه- قال:
قال رسول الله -صلى الله عليه
وسلم-: مُرُوا أولادكَم
بالصلَةِ وهم أبَْنَاءُ سَُ ْعِ سِنيِنَ، واضْرِبوُهُمْ عليها، وهم أبَْنَاءُ
عَشْرٍ، وفَ ِّرِقوُا بَيْنَهُمْ في
المَضَاجُِ عِ
Artinya: “Perintahlah anak-anak kalian untuk mengerjakan solat pada waktu usia
tujuh tahun dan pukullah mereka pada waktu usia sepuluh tahun serta pisahkan
tempat tidur mereka” (Hadis riwayat Abu Daud: 495).
Hadis di atas
menunjukkan bahawa, sembahyang merupakan pilar agama dalam kehidupan orang
Islam. Shalat merupakan asas utama yang mana sekiranya tidak dilaksanakan ,
maka semestinya seseorang itu telah menghancurkan agamanya, bahkan sholat
menjadi pemisah antara kekufuran dan keislaman. Di samping itu, menurut
Al-Qabisi, teknik memukul dan memberikan hadiah turut digalakkan. Memukul dalam
kontek mendidik dan tidak ditempat berbahaya. Dan memberikan penghargaan
seperti menyelesaikan hafalan Al-Quran.[4]
Metode dan
teknik mengajar serta kaedah pengajaran yang telah digariskan oleh Al-Qabisi
dalam menelaah Al Quran adalah:
a.
Berulang kali dengan
mengajarnya yang disertai dengan hafalan,
b. Bantu membantu antara satu sama lain untuk memantapkan
hafalan,
c.
Menulis setiap perkara yang
dihafal,
d. Memaksimumkan pancaindera mata untuk membaca, serta
e.
Penguatan daya
ingatan.
Setelah itu
pelajar disuruh menunjukkan kesannya kepada guru. Sekiranya, anak melakukan
kesalahan penulisan atau terlupa dalam menghafal atau tidak menfokuskan
pengajiannya, semestinya guru akan menghukum anak-anak tadi, teknik ini sangat
berkesan jika dapat dijalankan pada zaman modern ini. Tahap atau peringkatnya
adalah (al-Qabisi, 1955): 1). Nasihat, 2). Memisahkan atau mengasingkannya secara
bersendirian, 3). Marah beserta ancaman, 4.) Pukulan sebagai hukuman terakhir.
Gamal Abdul Nasir Zakaria (2003) menjelaskan pemikiran al-Qabisi (1955) bahawa
sekiranya nasihat, tunjuk ajar dan amaran tidak menjadi, maka hukuman secara
setimpal sebagai ujian terhadap mereka. Jika pelajar itu dapat menyempurnakan
tugas menghafal al-Quran itu dengan baik dan hafalan itu melekat dengan baik,
maka menjadi tanggung jawab guru untuk memberikan pelajar itu anugerah
penghargaan dan pujian kepada mereka (al-Qabisi, 1955).[5]
Al-Qabisi (1955) meletakkan dua (2)
matlamat dalam pengajaran yiaitu:
a.
Matlamat agama
(makrifatuddin).
b. Matlamat akhlak.
Al-Qabisi (1955) sentiasa mengajak umat Islam di mana-manapun mereka berada agar terus berpegang erat dengan runas-runas Islam. Selanjutnya dalam pendidikan sahsiah pula, al-Qabisi mengajak para guru untuk berpegang teguh dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah. Al-Qabisi menyatakan bahawa, pendidikan dan pengajaran adalah suatu kombinasi yang saling berkait rapat antara satu sama lain. Mula-mula keluargalah wajib menerapkan nilainilai pendidikan sahsiah, kemudian institusi pendidikan dan akhir sekali masyarakat seluruhnya.
Shams al-Din (1990) sebagaimana untuk menjelaskan pemikiran kurikulum pendidikan islam oleh Al-Qabisi (1955) telah mengklasifikasikan kaedah pedagogik kepada dua bentuk yaitu ilmu-ilmu dasar atau ijbari dan ilmu-ilmu yang bukan dasar atau ikhtiyari. Ilmu-ilmu tersebut merangkumi seperti berikut:
a. Al-Quran. Al-Quran menjadi subjek yang wajib untuk dipelajari
oleh setiap anakanak di sekolah
b. Al-Fiqh. Ilmu al-fiqh yang dikatakan oleh Al-Qabisi adalah
mengenai asas-asas hukum Islam yang perlu diketahui oleh setiap murid agar
dapat melaksanakan perintah Allah SWT dan rasul-Nya dengan sebaik-baiknya.
Setiap guru wajib meletakkan amalan solat sebagai amalan pertama ketika mereka
berumur enam (6) atau tujuh (7) tahun. Demikian juga mengajarkan kaedah berwudu
dengan betul. Selain daripada itu, ilmu akidah dan tauhid juga perlu
dititiberatkan kepada mereka agar kenal siapakah pencipta mereka yakni Allah
SWT sebagai Tuhan mereka.
c. Moral. Ilmu moral sangat signifikan diterapkan dalam diri
anak-anak, kerana setiap manusia wajib berhubungan baik dengan manusia, sesama
makhluk dan Allah SWT Anak-anak perlu dilatih dengan perbuatan dan sikap yang
baik sejak kecil agar dapat diarahkan tingkah laku berkenaan pada jalan yang
benar.
d. Menulis, mengeja dan membaca. Contohnya, ajarilah anak-anak
mengenal tulisan khat serta dapat mengeja dan menelaah Al Quran. Hal ini
demikian kerana, ianya sangat penting dalam pengajaran Al Quran. Pendidik
menurut Al-Qabisi adalah menunaikan kewajipan membimbing anak-anak secara asas
untuk mengenal alQuran seiring dengan kaedah bacaan yang benar dan betul
sehingga mereka mampu membaca dengan bacaan yang fasih serta tajwid yang
betul.
e. Bahasa. Contoh yang diberikan al-Qabisi adalah bahasa Arab.
Penetapan asas-asas ilmu gramatikal, retorikal dan sebagainya mestilah dikuasai
dengan sebaikbaiknya. Namun bukan dari aspek pemahaman bahasa semata-mata
bahkan matlamat yang bersangkut paut adalah agar anak-anak dapat memahami dan
membaca sesuatu teks bahasa asing dengan tepat dan bebas daripada kesalahan.
Sedangkan
ilmu-ilmu yang tidak termasuk dalam kategori ijbari adalah ikhtiyari,
sebagaimana berikut:
a. Ilmu pengiraan atau hisab. Al-Qabisi tidak membebankan pada
mana-mana pendidik untuk mengajar subjek ini sebagai mata pelajaran yang teras,
tetapi keperluan guru untuk mengajar subjek ini adalah terletak atas pilihan
muridmuridnya. Ilmu hisab ada serba sedikit berkait rapat dengan kepentingan
keagamaan, kerana mempelajarinya akan membantu untuk memahami dengan lebih
mendalam ilmu-ilmu pembahagian pusaka (ilmu faraid).
b. Kesusasteraan. Contoh yang diberikan adalah bahasa Arab. Setiap
bahasa mempunyai nilai sasteranya yang tersendiri dan ilmu sastera adalah ilmu
yang paling baik untuk dipelajari. Antara yang boleh dipelajari seperti prosa,
pidato, sirah tokohtokoh orang Arab dan sebagainya. Digalakkan untuk melatih
anak-anak menghafal syair atau pantun bagi membantu anak-anak dalam
mengembangkan keupayaan bahasanya serta dapat melatih anak-anak berbicara
dengan bahasa yang indah. Kebaikan lain daripada syair adalah sebagai hiburan
pada waktu lapang.
c. Sejarah. Sejarah bukanlah mata pelajaran atau subjek teras
menurut al-Qabisi, akan tetapi pendidikan sejarah ini dapat melatih anak-anak
untuk mengamalkan perilaku yang baik dan mulia.
Mengetahui
agama secara teori dan amali merupakan tujuan utama pendidikan anak-anak
menurut Al-Qabisi (1955). Beliau menyatakan, kehidupan ini merupakan tempat
persinggahan untuk menuju akhirat. Demikianlah setiap manusia akan menghabiskan
setiap detik dan amal perbuatannya semata-mata untuk jalan agama, bangsa dan
negara. Beliau menyeru umat Islam mencontohi generasi sahabat dan tabiin.
Sememangnya,
generasi umat Islam pada ketika itu sangat berpegang teguh dengan pengamalan
ilmu-ilmu al-Quran dan semua asas agama terhadap keluarga mereka (Ahwani 1955
dan Gamal Nasir, 2003). Setiap individu mestilah berpegang pada tali Allah
s.w.t (ajaran dan panduan daripada Allah s.w.t), bahkan beliau menambah lagi
bahawa, nilai-nilai agama ini diperoleh dengan kaedah mencari dan mempelajari. Berdasarkan
teori al-Qabisi ini dapatlah diketahui bahawa, pentingnya orang Islam
mempelajari al-Quran dan mengajarkannya selain mengutamakannya terlebih dahulu
daripada matapelajaran dan ilmu yang lain. Al-Qabisi (1955) menyatakan
pendidikan mestilah selaras dengan akhlak kerana kedua-duanya saling
memerlukan. Menjadi tanggungjawab keluarga dalam menyemai nilai-nilai
kepribadian dan moral, kemudian disempurnakan oleh institusi pendidikan,
masyarakat dan negara.
Proses
penerapan nilai murni terjadi melalui murabbi yang mengajar dan pengawalan
pergaulan murid adalah melalui teman-temannya. Sebagai seorang guru atau
pendidik atau orang tua kepada anak-anak, menjadi kewajiban menegur setiap
perbuatan yang tidak baik yang ditunjukkan oleh anak-anak (al-Qabisi, 1955).
Al-Qabisi
sepakat supaya pelajar laki-laki dan perempuan dipisahkan ketika mempelajari
ilmu pengetahuan, karena bercampurnya
laki-laki dan perempuan mendatangkan kesan dan implikasi kepada kerusakan
akhlak. Al-Qabisi (1955) tidak menetapkan pendidikan dalam bidang kemahiran dan
pekerjaan sebagai asas utama kehidupan. Hal ini dapatlah difahami bahwa, setiap
perbuatan atau pekerjaan yang diperoleh adalah dengan cara taqlid. Ini semua
termasuk dalam peranan dan tanggungjawab ibu bapa dan masyarakat serta bukanlah
termasuk dalam tanggungjawab mana-mana institusi pendidikan. Bercampurnya laki-laki dan perempuan untuk
siswa yang sudah mulai pubertas (murahiqah)
sangat rawan. karena pada masa pubertas, siswa sudah mulai menyukai lawan
jenis. selain itu pada masa pubertas tidak memiliki ketenangan jiwa dan timbul
dorongan yang kuat terhadap lawan jenis (syahwat). bila bercampurnya laki-laki
dan perempuan terjadi akan mendatangkan kerusakan terutama bagi anak perempuan
remaja. Namun demikian, tidak lantas perempuan lebih rendah dibandingkan
laki-laki. dalam pandangan Al Qabisi tidak mengenal gender, justru dengan
memisahkan sekolah antara laki-laki dan perempuan akan membatasi tingkat
pergaulan bebas di antara para remaja.
Jelas
pandangan Al- Qabisi bahwa sesungguhnya dorongan jiwa anak remaja (pubertas)
terhadap lawan jenis akan merubah sikap akhlak dan agamanya. Memang dorongan
jenis kelamin (syahwat) merupakan tenaga yang sangat kuat untuk remaja. syahwat
juga merupakan motivasi yang powerfull
(sangat besar). Namun demikian, resiko yang akan dimunculkan juga sangat besar.
resiko yang akan terjadi adalah peluang pergaulan bebas yang semakin meningkat.
Bahkan hari ini menjadi problem nasional dimana siswa sudah merasa nyaman
dengan keadaan bercampur. dan tidak ada sekat antara laki-laki dan perempuan.
Di dalam kurikulum pendekatan Al-Qabisi bahwa metode belajar yang efektif antara lain menghafal, melakukan latihan-latihan dan demonstrasi. Belajar dengan menghafal yang amat diperhatikan oleh Pendidikan modern sekarang (Jumbulati, 2020). Namun demikian, pemahaman terhadap pelajaran yang baik akan membantu hafalan dengan baik pula. Hal ini terkait dengan kurikulum di Kuttab (sekolah) yang mengajarkan Alquran dan hadis tentu metode hafalan adalah metode yang paling pas untuk mempelajarinya. Menurut Qibisi bahwa metode hafalan adalah metode yang paling baik. Tentu karena metode hafalan adalah melakukan pengulangan-pengulangan sehingga lebih mudah diingat dan dipahami. Adapun pentingnya pengulangan di dasarkan hadist Nabi saw,” Perumpamaan AlQuran itu seperti perumpamaan unta yang diikat dengan tali , dan jika pemiliknya mengokohkan ikatannya, unta itu akan terikat erat, dan jika ia melepaskan tali ikatannya , makai a akan pergi”. Tentu hadis ini sangat jelas bahwa siswa melakukan pengulangan siang dan malam, makai a akan tetap mengingatnya, dan jika siswa tidak membaca dan mengulang-ulang bacaannya , maka ia akan lupa atau hilang hafalannya. Setelat menghafal dengan cara berulang-ulang maka siswa akan memahami (alfahmu).
Penutup
Muhammad Jawwad Ridha membagi Teori pendidikan Islam kedalam beberapa aspek, yaitu : (1) Konsep tentang belajar mengajar, (2) Aspek-aspek psikologi belajar mengajar, (3) Memahami tentang semua yang terkait dengan peserta didik, (4) Cara dalam proses belajar mengajar, (5) Pengajar dan (6) Mempersiapkan peserta didik untuk turut serta terjun ke dalam kehidupan masyarakat di bidang ekonomi.
Kurikulum pendidikan yang dibawa oleh Al-Qabisi merupakan salah satu teori atau model yang sangat sesuai diaplikasikan dalam dunia pendidikan kontemporari. Ciri-ciri kerelevanannya terhadap pengamalan kurikulum pendidikan berteraskan Islam selama ini dapat diperincikan kepada dua perkara. Pertama, dari segi penyusunannya, yaitu dasar tawazun (keseimbangan) antara pengetahuan keduniaan dengan pengetahuan akhirat (aspek intelektual dengan spiritual), antara teorikal mahupun praktikal, dan sesuatu dasar yang berkaitan, yaitu bersempena dengan penyesuaian kurikulum pengajaran tersebut dengan tahap situasi masyarakat sebenar. Kedua, dari segi sudut pembinaan yang menjadi asas utama terhadap penyusunan kurikulum pendidikan, iaitu diniah dan ijtimaie. Idea daripada al-Qabisi tentang pendidikan adalah berpandukan kepada asas-asas Islam, khususnya berkaitan dengan prinsip dan dasar utama yang menjadi landasan penyusunan pendidikan tersebut. Maka, setiap dasar pendidikan mestilah mudah untuk dipraktikkan di institusi pendidikan masa kini dan akan datang.
[2] Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh Al-Tuwaanisi . Perbandingan Pendidikan Islam. terjemah. M. Arifin. (Jakarta: Rineka Cipta, 2020 ), hal 76
[3] Muhammad Amirul & Muhammad Zulazizi: Falsafah dan Kurikulum Pendidikan Islam Menurut Pandangan Tokoh Ilmuwan Islam: Imam al-Qabisi. Sains Insani, Volume 05 No 1 (2020) : hal.158.
[4] Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh Al-Tuwaanisi Sugiyono, op. Cit ., hal. 91.
[5] Muhammad Amirul & Muhammad Zulazizi, op. Cit ., hal. 189-190.