Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina dan Implikasinya Terhadap Kurikulum Pendidikan Islam

Pendahuluan

Konsep pendidikan Islam yang saat ini sampai kepada kita tidak pernah lepas dari konsep pendidikan yang terlahir dari para filosof, ulama dan tokoh muslim terdahulu. Ada banyak tokoh pendidikan Islam yang menyumbangkan pemikirannya terhadap dunia pendidikan Islam,  namun dalam makalah ini hanya akan difokuskan pada pemikiran Ibnu Sina. Karena dengan berbagai pengalaman yang menemani perjalanan hidupnya, sosok Ibnu Sina ternyata mampu menghadirkan pandangan cerdas bagi pemikiran pendidikan Islam saat ini, meski tak dapat dipungkiri bahwa beliau di mata dunia lebih dikenal sebagai seorang dokter dengan karya terbesarnya, yaitu Kitab al-Syifa’ dan Qanun fi al-Thibb.

Barangkali pemikiran Ibnu Sina boleh dianggap sebagai produk sejarah, akan tetapi ide-idenya yang bersifat religius-rasional dan berorientasi pada aplikasi praktis itu nampaknya masih sangat relevan untuk dikaji. Ibnu Sina merupakan salah satu tokoh muslim yang dipandang memiliki perhatian serius dalam kaitannya dengan masalah umat, termasuk di dalamnya adalah masalah pendidikan. Berangkat dari paradigma Islam sebagai dasar pijakan, gagasan Ibnu Sina dipandang memiliki relevansi dari segi konteks pemikiran dengan kebutuhan umat Islam di Indonesia. Oleh karena itu, penulisan makalah ini memiliki titik fokus pada upaya mengkaji pemikiran dari tokoh tersebut, terutama yang berkenaan dengan pendidikan Islam. 

Pembahasan

A. Sekilas Riwayat Hidup Ibnu Sina

Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali al-Husain ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn ‘Ali ibn Sina al-Hakim, atau biasa dikenal Avicienna.  Beliau lahir pada tahun 370 H/980 M di Kharmeisan berdekatan dengan Bukhara dan berbangsa Balkha (ahli Balkha), sekarang Uzbekistan, ibu kota Samani, sebuah kota peninggalan dari dinasti Persia di Asia Tengah dan Kharasan. Ibnu Sina wafat pada tahun 428 H/1037 M. Ibunya bernama Astarah, berasal dari Asfhana yang termasuk wilayah Afghanistan,  sedangkan ayahnya bernama Abdullah, seorang sarjana terhormat penganut Syi’ah Isma’iliyyah, dan merupakan ilmuwan dari kota Balkh Kharasan, suatu kota termasyhur dari kekuasaan Samani yang sekarang merupakan Provinsi Balkh di Afghanistan.

Semasa kecil, Ibnu Sina memulai pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya, yaitu Bukhara. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajari adalah membaca Al-Qur’an. Setelah itu ia mempelajari ilmu-ilmu agama Islam seperti tafsir, fiqih, ushuluddin, dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal Al-Qur’an dan mengusai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap 10 tahun. Sehingga dari situ Ibnu Sina dianggap sebagai manusia yang luar biasa. Bahkan Ibnu Sina pernah menceritakan jika dirinya hafal kitab metafisika Aristoteles di luar kepala, ia membaca sebanyak 40 kali sampai hafal semua kata dalam kitab itu, namun tak sedikitpun makna yang dapat ia pahami. Pemahaman yang menyeluruh baru diperoleh setelah Ibnu Sina membeli Kitab karangan al-Farabi mengenai tujuan metafisika Aristoteles. Kenyataan ini membuat Ibnu Sina mengakui kedudukan al-Farabi sebagai guru kedua.  

Di samping itu, Ibnu Sina juga mempelajari ilmu kedokteran sejak usia 16 tahun secara otodidak, hingga ia menjadi seorang dokter yang termasyhur pada zamannya. Hal ini didukung oleh kesungguhannya dalam melakukan penelitian dan praktek pengobatan. Berkenaan dengan ini, ada sebagian yang mengatakan bahwa Ibnu Sina mempelajari kedokteran dari Ali Abi Sahl al-Masity dan Abi Manshur al-Hasan ibn Nuh al-Qamary. Selain itu upaya memperdalam berbagai cabang ilmu pengetahuan juga diperoleh Ibnu Sina ketika ia diberi kesempatan untuk memanfaatkan perpustakaan milik Nuh bin Mansyur yang pada saat itu menjadi Sultan di Bukhara. Dengan cara demikian, ilmu kedokteran yang ditekuni Ibnu Sina mengalami perkembangan yang signifikan karena didukung oleh keluasan teori dan praktik. 

Sebagai pemikir yang inovatif dan kreatif, Ibnu Sina dikenal sebagai sosok ulama’ yang produktif dalam melahirkan karya tulis. Karya-karyanya Ibnu Sina tergolong cukup banyak, bahkan hampir meliputi seluruh cabang ilmu pengetahuan seperti ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa, fisika, logika, politik dan sastra Arab. Ibnu Sina menulis sebanyak 450 risalah. Dari sekian banyak karya itu, karya Ibnu Sina yang paling terkenal adalah Kitab al-Syifa’ (Kitab Penyembuhan) dan buku Qanun fi al-Thibb (Undang-undang Kedokteran). Selain itu ada beberapa karya populer yang membuat nama Ibnu Sina dikenal dalam kancah ilmu pengetahuan, terutama di dunia Barat. Berikut ini adalah daftar karya ilmiah Ibnu Sina yang terkemuka:

  1. Sirat al-Syaykh al-Rais (The Life of Ibn Sina), suntingan dan terjemahan dari WE. Gohlman, Albany, NY: State University of New York Press, 1974.
  2. Al-Isharat wa-‘l-tanbihat (Remarks and Admonitions), ed. S. Dunya, Cairo, 1960.
  3. Al-Qanun fi Al-Thibb (The Canon of Medicine), ed. I. a-Qashsh, Cairo, 1987.
  4. Risalah fi Sirr al-Qadar (Essay on The Scret of Destiny), terjemahan G. Hourani in Reason and Tradition in Islamic Ethics, Cambridge: Cambridge University Press, 1985.
  5. Danishnama-i ‘ala’i (The Book of Scientific Konowledge), suntingan dan terjemahan. P. Morewedge, The Metaphysics of Acicenna, London: Routledge and Kegan Paul, 1973.
  6. Kitab al-Shifa’ (The Book of Healing), Naskah telah diterbitkan di Kairo, 1952-83, yang asli di bawah pengawasan I. Madkou.
  7. Kitab al-Najat (The Book of Salvation), terjemahan. F. Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of Kitab al-Najat, Book II, Chapter VI with Historical-philosophical Notes and Textual Improvements on the Cairo Edition, Oxford: Oxford University Press, 1952. (The Psychology of al-Shifa’.)
  8. Hayy ibn Yaqdhan sebuah mitos Persia yang didasarkan pada kisah Ibnu Sina dan selanjutnya ditulis oleh Ibnu Thufail ada abad ke-12.  

Uraian di atas menunjukkan bahwa Ibnu Sina adalah seorang ulama yang berpengetahuan luas dalam berbagai ilmu termasuk ilmu falsafah, walaupun ia lebih terkenal dalam bidang kedokteran. Dalam dunia intelektual, nama Ibnu Sina menjadi populer, bahkan perhatian dunia terhadapnya tidak hanya mencuat dari kalangan Islam, tetapi juga di kalangan Barat melalui dua karyanya yang berjudul Kitab al-Syifa’ dan Qanun fi al-Thibb.

B. Pemikiran Ibnu Sina Tentang Pendidikan

Pemikiran filosofis Ibnu Sina dalam tentang pendidikan terdiri dari empat poin yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu: 

1. Konsep Tujuan Pendidikan

Ibnu Sina menjelaskan bahwa tujuan pendidikan memiliki tiga fungsi, yaitu: 1) tujuan itu menentukan haluan bagi proses pendidikan; 2) tujuan itu bukan hanya menentukan haluan yang dituju tetapi juga sekaligus memberi rangsangan; 3) tujun itu adalah nilai, dan jika dipandang bernilai, dan jika diinginkan, tentulah akan mendorong pelajar mengeluarkan tenaga yang diperlukan untuk mencapainya. Berangkat dari pandangan ini, tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina adalah pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti.

Selain itu pendidikan juga harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya. Khusus mengenai pendidikan jasmani, Ibnu Sina berpendapat hendaklah tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengan olahraga dan menjaga kebersihan. Sedangkan dalam kaitannya dengan keterampilan ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan, dll, sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja profesional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara profesional.

Dengan adanya pendidikan jasmani itu diharapkan seorang anak didik akan terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan budi pekerti diharapkan seorang anak didik memiliki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari dan sehat jiwanya. Dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya khayalan. Begitu pula pendidikan keterampilan diharapkan bakat dan minat anak didik dapat berkembang secara optimal.

Khusus mengenai tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang berkepribadian akhlak mulia, Ibnu Sina juga mengemukakan bahwa ukuran akhlak mulia tersebut dijabarkan secara luas yang meliputi aspek kehidupan manusia, seperti aspek pribadi, sosial dan spiritual. Ketiganya harus berfungsi secara integral dan komprehensif. Pembentukan akhlak mulia ini juga bertujuan untuk mencapai kebahagiaan (sa’adah). Kebahagiaan menurut Ibnu Sina dapat diperoleh manusia secara bertahap. Dari tujuan pendidikan yang berkenaan dengan budi pekerti, kesenian, dan perlunya keterampilan sesuai dengan bakat dan minat tentu erat kaitannya dengan perkembangan jiwa seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan yang bersifat spiritual mendapat penekanan yang lebih.  

2. Konsep Kurikulum Pendidikan

Menurut Ibnu Sina, ada beberapa ilmu yang perlu dipelajari dan dikuasai oleh anak didik berdasarkan tingkat perkembangan usianya, yaitu sebagai berikut:

  1. Usia 3-5 tahun, pada usia ini anak didik perlu diberi mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kesenian, seni suara, dan kebersihan dengan penekanan aspek afektif dan pendidikan akhlak.
  2. Usia 6-14 tahun. Kurikulum untuk anak usia ini mencakup pelajaran membaca dan menghafal al-Qur’an, pelajaran agama, pelajaran olahraga dan pelajaran sya’ir dengan penekanan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
  3. Usia 14 tahun ke atas. Pada usia ini mata pelajaran yang perlu diberikan kepada anak berbeda dengan usia sebelumnya. Mata pelajaran diberikan kepada anak didasarkan atas bakat dan minatnya anak, sehingga anak diarahkan untuk menguasai suatu bidang ilmu tertentu, atau spesialisasi bidang keilmuan.

Di samping itu Ibnu Sina membagi mata pelajaran ke dalam kelompok ilmu yang bersifat teoritis dan praktis. Ilmu yang bersifat teoritis meliputi ilmu tabi’i (kedokteran, astrologi, ilmu firasat, ilmu tafsir mimpi, ilmu kimia), ilmu matematika dan ilmu ketuhanan (mencakup ilmu tentang cara-cara turunnya wahyu, hakikat jiwa pembawa wahyu, mu’jizat, ilham, ilmu tentang kekelan ruh, dsb). Sedangkan ilmu yang bersifat praktis meliputi ilmu akhlak, ilmu pengurusan rumah tangga, ilmu politik terutama dalam kehidupan bermasyarakat yang menginginkan tegaknya keadilan dengan menetakan undang-undang dan syari’at. Adapun konsep kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Dalam penyusunan kurikulum hendaklah memertimbangkan aspek psikologis anak.
  2. Kurikulum yang diterapkan harus mampu mengembangkan potensi anak secara otimal dan harus seimbang antara jasmani, intelektual dan akhlaknya.
  3. Kurikulum yang disusun harus berlandaskan keada ajaran dasar dalam Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah, sehingga anak didik akan memiliki iman, ilmu dan amal secara integral.
  4. Kurikulum yang ditawarkan adalah kurikulum berbasis akhlak yang diperoleh melalui pendidikan seni dan syair.  

3. Metode Pendidikan

Dengan pertimbangan psikologis anak, Ibnu Sina berpendapat bahwa suatu materi pelajaran tertentu tidak akan dapat dijelaskan kepada bermacam-macam anak didik dengan satu cara saja, melainkan harus dicapai dengan berbagai cara sesuai dengan perkembangannya. Penyampaian materi pelajaran pada anak menurutnya harus disesuaikan dengan sifat dari materi pelajaran tersebut, sehingga antara metode dengan materi yang diajarkan tidak kehilangan daya relevansinya. Metode yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi, magang, penugasan dan hukuman (targhib dan tarhib). Adapun penjelasannya sebagai berikut:

  1. Metode talqin digunakan untuk mengajarkan membaca al-Qur’an. Dimulai dengan memperdengarkan bacaan al-Qur’an kepada anak didik, sebagian demi sebagian. Setelah itu anak tersebut diminta untuk mendengarkan dan mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang, hingga akhirnya ia hafal.
  2. Metode demonstrasi digunakan dalam pembelajaran yang bersifat praktik, seperti mengajarkan caranya menulis. Guru memberikan contoh tulisan huruf hijaiyyah di depan anak didik, kemudian guru meminta mereka untuk mendengarkan ucapan huruf hijaiyyah sesuai dengan makhrajnya, dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.
  3. Metode pembiasaan dan keteladanan digunakan untuk mengajarkan akhlak.  Metode ini menjadi lebih efektif apabila disesuaikan dengan tingkat perkembangan jiwa anak didik. Ibnu Sina mengakui adanya pengaruh “mengikuti/meniru” atau contoh teladan dalam proses pendidikan di kalangan anak pada usia dini terhadap kehidupan mereka, karena secara naluriyah anak mempunyai kecenderungan untuk mengikuti dan meniru segala yang dilihat, dirasakan, dan yang didengarnya.
  4. Metode diskusi digunakan dengan cara penyajian pelajaran di mana anak didik dihadapkan kepada suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan dipecahkan bersama. Ibnu Sina menggunakan metode ini untuk mengajarkan pengetahuan yang bersifat rasional dan teoritis.
  5. Metode magang digunakan untuk menggabungkan teori dan praktik. Metode ini memiliki manfaat ganda, yaitu membuat anak didik menjadi mahir dalam suatu bidang ilmu, juga akan mendatangkan keahlian dalam bekerja.
  6. Metode penugasan digunakan dengan cara guru memberikan tugas tertentu agar anak didik melakukan kegiatan belajar. Dalam hubungan ini, Ibnu Sina biasanya menyusun sejumlah modul atau naskah kemudian menyampaikannya kepada anak didik untuk dipelajarinya.
  7. Metode targhib dan tarhib. Dalam pendidikan modern, metode targhib dikenal dengan istilah reward yang berarti ganjaran, hadiah atau penghargaan sebagai motivasi yang baik. Namun dalam keadaan terpaksa, metode tarhib atau hukuman dapat dilakukan dengan cara memberi peringatan secara halus dan hati-hati.  

Dari beberapa metode yang diuraikan di atas terdapat empat ciri-ciri penting yang hingga sekarang masih banyak digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Sina dalam bidang metode pengajaran masih relevan dengan tuntutan zaman. Adapun ciri-ciri itu antara lain:

  1. Pemilihan dan penerapan metode harus disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran.
  2. Metode yang diterapkan harus mempertimbangkan kondisi psikologis anak, termasuk bakat dan minatnya.
  3. Metode yang diterapkan tidak kaku, tetapi dapat berubah sesuai kondisi dan kebutuhan anak didik.
  4. Ketepatan dalam memilih dan menerapkan metode sangat menentukan keberhasilan pembelajaran.

4. Konsep Pendidik

Guru memiliki peran sangat penting dalam pendidikan. Dalam hubungan ini, Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik adalah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main di hadapan anak didik, serta sopan santun. Lebih lanjut, seorang guru sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, telaten dalam membimbing anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, dan tidak keras hati.

Ibnu Sina juga menekankan agar seorang guru tidak hanya mengajarkan dari segi teoritis saja kepada anak didiknya, melainkan juga melatih segi keterampilan, mengubah budi pekerti dan kebebasannya dalam berpikir. Seorang guru harus mengutamakan kepentingan umat daripada kepentingan diri sendiri, menjauhkan diri dari meniru sifat raja dan orang-orang yang berakhlak rendah, dan mengetahui etika dalam majelis ilmu.  

Uraian di atas menunjukkan bahwa seorang guru harus memiliki kompetensi keilmuan yang bagus, berkepribadian mulia dan karismatik sehingga dihormati dan menjadi idola bagi anak didiknya. Hal ini penting, karena dengan kompetensi itu tentulah anak didik akan menyukainya, dan ilmu yang diajarkan guru mudah diterima oleh anak didik. Di samping itu, seorang guru dapat mencerdaskan anak didiknya dengan berbagai pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan akhlak seorang guru dapat membina mental dan akhlak anak didik.

C. Relevansi Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina dengan Kurikulum Pendidikan Islam

Berdasarkan hasil pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa pemikiran Ibnu Sina memiliki relevansi dengan pelaksanaan kurikulum pendidikan Islam. Adapun relevansi pemikiran Ibnu Sina dapat dikaji dari segi tujuan pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran, dan pendidik sebagaimana di bawah ini. 

1. Tujuan Pendidikan 

Tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina perlu memperhatikan dan mendorong berkembangnya fisik, intelektual, dan budi pekerti peserta didik secara sempurna atau dengan kata lain terwujudnya insan kamil. Gagasan Ibnu Sina tersebut diaktualisasikan melalui rumusan tujuan pendidikan nasional terdapat pada pasal 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi: “Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”  

Untuk mewujudkan manusia Indonesia yang sesuai dengan tujuan Pendidikan Nasional maka undang-undang mengatur kurikulum inti yang wajib dikembangkan pada setiap jenjang pendidikan dasar dan menengah yakni dengan pengadaan mata pelajaran: (1) Pendidikan Agama, (2) Pendidikan Kewarganegaranaan, (3) Bahasa, (4) Matematika, (5) Ilmu Pengetahuan Alam, (6) Ilmu Pengetahuan Sosial, (8) Seni dan Budaya, (9) Pendidikan Jasmani dan Olahraga, (10) Keterampilan/Kejuruan, serta (11) Muatan Lokal. Adapun kurikulum wajib pada Perguruan Tinggi yakni: (1) Pendidikan Agama, (2) Pendidikan Kewargamegaraan, serta (3) Bahasa. 

Setiap muslim memiliki kewajiban untuk mempelajari ilmu agama Islam, dimulai dari lingkungan terkecil yakni keluarga (melalui pendidikan infomal), kemudian lingkungan masyarakat melalui pengajian maupun majlis ta’lim yang ada di masyarakat (pendidikan non formal), maupun sekolah (pendidikan formal) sebagai bekal kehidupan dunia dan akhirat. Dengan adanya amanah nasional berupa kewajiban menyelenggarakan pendidikan agama sejak jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, maka pemerintah telah mengupayakan pendidikan nilai-nilai Islam dan pembinaan akhlak yang berkesinambungan. Hal tersebut merupakan relevansi pemikiran Ibnu Sina dimana pendidikan yang diselenggarakan mengembangkan budi pekerti setiap peserta didik. 

Di Indonesia berkembang dua corak pendidikan, yakni pendidikan umum (yang pengelolaannya di bawah Kementerian Pendidikan), misalnya SD, SMP, dan SMA serta lembaga pendidikan keagamaan Islam yang pengelolaannya berada di bawah Kementerian Agama, misalnya Pondok Pesantren, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan juga Madrasah Aliyah. Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang diberlakukan secara Nasional saat ini memiliki beberapa ciri khas. Pemberlakuan kurikulum 2013 mengarahkan pada pembentukan manusia yang integral, yakni mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian peserta didik secara menyeluruh dan seimbang melalui berbagai latihan atau program yang dapat mengembangkan potensi jiwa, akal pikiran, rasionalitas diri, serta mempertajam perasaan dan indra.  

Secara operasional Kurikulum 2013 mengategorikan perkembangan peserta didik pada empat kompetensi yakni Kompetensi Inti Sikap Spiritual (KI-1), Kompetensi Inti Sikap Sosial (KI-2), Kompetensi Inti Pengetahuan (KI-3), serta Kompetensi Inti Keterampilan (KI-4). Melalui kurikulum 2013 kiranya hal tersebut mampu mempersiapkan peserta didik yang memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi maupun sebagai warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif dan afektif serta mampu memberikan kontribusi bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara demi tercapainya peradaban di dunia.  

Berikutnya, gagasan Ibnu Sina terkait tujuan pendidikan ialah pendidikan perlu disesuaikan dengan bakat, kecenderungan dan potensi peserta didik agar dapat hidup di masyarakat dengan keahlian yang dimilikinya. Pada praktiknya secara umum terdapat tiga model pendidikan yang ada di Indonesia, yakni sekolah yaitu lembaga pendidikan formal yang didalamnya mempelajari ilmu-ilmu umum seperti Biologi, Matematika, Sosiologi, Ekonomi, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, serta masih banyak lagi mata pelajaran lainnya. Adapun pendidikan  Islam tetap dipelajari oleh muslim serta memiliki kedudukan yang sama dengan mata pelajaran yang lainnya yakni sebagai mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Keilmuan umum mendominasi kurikulum yang ada di sekolah, jika dibandingkan dengan madrasah dan pesantren. 

Lain halnya dengan model pendidikan pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pengajaran di pesantren menjadikan ajaran Islam sebagai nilai utama yang dijunjung tinggi. Adapaun mata pelajaran yang dipelajari di pesantren biasanya diajarkan oleh kyai atau ustadz secara sorogan, bandongan, atau halaqah dan wetonan yang mengajarka kitab-kitab berisikan ilmuilmu agama seperti Fiqih, Bahasa Arab, Akhlak, Tasauf, Tafsir, Al-Hadits, dan ilmu agama lainnya. Meskipun pada perkembangannya model pesantren tradisional sudah mengalami akulturasi dengan budaya modern, namun pesantren mampu tetap berpegang teguh pada tradisinya yaitu mengorientasikan para peserta didik atau santri agar dapat menjadi pribadi yang dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam secara baik sehingga mampu menjadi orang alim dan shalih.  

Adapun madrasah merupakan lembaga pendidikan yang memadukan kedua lembaga tersebut. sebagai lembaga pendidikan formal yang manajemennya diatur di bawah Kementerian Agama, model pendidikan ini berupaya memadukan dua corak kurikulum di mana lembaga tersebut berupaya untuk menyempurnakan sistem pendidikan kepesantrenan dan juga mengadaptasi sistem pendidikan dari barat. Didalamnya memadukan kurikulum dan muatan mata pelajaran ciri khas pesantren, yakni ilmu-ilmu agama namun juga mempelajari ilmu-ilmu umum, dengan berupaya menjadikannya seimbang antar keduanya. 

Dengan adanya spesialisasi, corak dan kekhususan dari ketiga lembaga tersebut berupaya untuk memberikan kesempatan untuk para peserta didik mengembangkan diri sesuai minat dan potensinya agar berguna dan terampil di bidang tertentu. Dengan menjalani pendidikan di lembaga pendidikan pesantren hal tersebut mempersiapkan peserta didik menjadi ulama atau memiliki keterampilan di bidang ilmu agama dan memberikan bekal untuk melanjutakan pendidikan di jurusan yang berkaitan ilmu agama pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Adapun setelah menyelesaikan pendidikan di jenjang SMP atau MTs, peserta didik sudah mulai dapat memilih keterampilan atau keahlian apa yang akan diperdalam agar memiliki kemandirian, kompetensi, serta siap memasuki lapangan pekerjaan. 

Melalui SMK atau MAK dengan keterampilan di bidang primer (seperti pertanian, kelautan, dan lain sebagainya), sektor sekunder (seperti di bidang perusahaan ransportasi, perusahaan makanan), juga sektor tersier atau jasa langsung (sepeti transportasi, bank, perhotelan). Sebagai contoh banyak SMK atau MAK yang membuka jurusan akutansi, TKJ, analis kimia, tata boga, dan lain sebagainya.  

Setelah menempuh pendidikan di jenjang menengah atas (baik di penddikan formal maupun non formal), peserta didik bisa melanjutkan dan memilih jurusan yang ada di perguruan tinggi baik bersifat vokasi, non vokasi, maupun profesi sesuai dengan minat dan juga dan bakat yang dimiliki. Kiranya hal-hal diatas merupakan relevansi pemikiran Ibnu Sina dalam konteks tujuan pendidikan dengan kondisi yang ada di Indonesia dengan mewujudkan kesatupaduan anatara perlembangan rohani, intelektual dan jasmani secara seimbang dan menyeluruh. 

2. Kurikulum 

Model kurikulum yang dikembangan madrasah di Indonesia yakni kurikulum integratif. Kurikulum integratif merupakan model kurikukum yang berupaya untuk mencetak generasi Islam yang tidak hanya memiliki kecerdasan otak (head), namun memiliki juga kecerdasan lainnya seperti kecerdasan emosi (heart), kecerdasan keterapilan dan kretaifitas (hand), serta kecerdasan spiritual (honest). Kurikulum model ini jika diimplementasikan secara optimal maka akan melahirkan berbagai kecerdasan serta keterampilan bagi para siswa dan alumninya. Adapun skema model kurikulum unggul yang ditawarkan dalam kurikulum madrasah di Indonesia sebagai berikut.  

Selain itu, sebagai contoh di MTs terdapat kurikulum yang disusun guna menumbuhkan dan membina aklak mulia (akhlak al-karimah) peserta didik melalui program pembiasaan mengucapkan salam kepada guru ketika bertemu, pembacaan asmaul husna, shalat dhuha berjama’ah, tausiyah dhuha, tadarus al-Quran, serta adanya ekstrakurikuler kesenian Islami dan keagamaan.  Kurikulum tersebut merupakan wujud relevansi pemikikiran Ibnu Sina dengan berupaya memakmurkan nilai-nilai alquran-dan as-sunah guna membangun akhlak mulia pada setiap diri peserta didik melalui kegiatan dan program pembelajaran yang ada di lingkungan sekolah. 

Relevansi pemikiran Ibnu Sina pada dimensi kurikulum juga dapat terlihat pada Perguruan Tinggi yang mulai melakukan pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum Berbasis Kompetensi diartikan sebagai kurikulum yang disusun dengan menghimpun dan menyusun berbagai elemen kompetensi yang mampu menghantarkan peserta didik mencapai kompetensi utama, kompetensi pendukung serta kompetensi lainnya. Dalam penyusunan kurikulum dilakukan identifikasi terhadap profil lulusan, maksudnya profesi atau keahlian yang seperti apa yang perlu dimiliki oleh lulusan setelah menyelesaikan pendidikan tersebut. Dengan berpanduan pada profil lulusan serta rumusan kompetensi maka berulah mata kuliah dibuat sesuai kebutuhan berdasarkan elemen kompetensinya. Mata kuliah setidaknya perlu mengandung elemen landasan kepribadian, penguasaan ilmu dan keterampilan, kemampuan berkarya, sikap serta perilaku dalam berkarya berdasarkan tingkat keahlian yang sesuai dengan ilmu dan keterampilan yang dikuasai, serta pemahaman tata cara berkehidupan dan bermasyarakat sesuai dengan jurusan yang dipilih.  

Pembelajaran Abad 21 berupaya menghasilkan peserta didik yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai dengan tantangan zaman. Maka dari itu landasan pengembangan kurikulum yang ada di sekolah serta perguruan tinggi diarahkan pada pengembangan kompetensi empat C (4C) yakni: 

a. Critical thinking and problem solving skill (kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah, 

b. Comunication skill (kemampuan berkomunikasi),

c. Collaboration skill (kemampuan berkolaborasi),

d. Creativity and Inovation skill (kemampuan kreativitas dan inovasi)  

Pengembangan kurikulum berorientasi pada kompetensi atau keahlian abad 21 ini menghantarkan pada tujuan pendidikan Nasional Abad XII, yaitu: “Mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu masyarakat bangsa Indonesia yang sejahtera dan bahagia, dengan kedudukan yang terhormat dan setara dengan bangsa lain dalam dunia global, melalui pembentukan masyarakat yang terdiri dari sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu pribadi yang mandiri, berkemauan dan berkemampuan untuk mewujudkan cita-cita bangsanya”. Kesejahteraan yang dimaksud dalam konteks ini mencakup kesejahteraan spiritual yakni kebahagiaan dalam kehidupan. Adapun kesejahteraan fisik dimaknai sebagai hidup yang berkecukupan. Idealisme pendidikan yang dimiliki Indonesia akan menghantarkan peserta didiknya menjadi manusia yang berdaya cipta, mandiri, dan kritis. 

Implikasi dari paradigma pedagogik tersebut terhadap Kurikulum 2013 yakni: (1) peserta didik diarahkan untuk berperan aktif dalam menyelidiki dan berpikir kritis sehingga tidak terhenti pada penggalian informasi faktual semata, (2) pembelajaran berpusat pada peserta didik (student center) tidak lagi berpusat pada pendidik (studen center), (3) menggunkan multimedia dalam proses pembelajaran, (4) pembelajaran bersifat kooperatif, interaktif, dan berlangsung dua arah (antara pendidik dan peserta didik), (5) pembelajaran menggunakan perspektif multidisiplin, (6) pembelajaran berbasis tim guna membangun lingkungan jejaring, dan (7) terjadi dialog dan pertukaran pengetahuan antara pendidik dengan peserta didik.  

Kurikulum yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan di Indonesia sejauh ini merupakan wujud relevansi pemikiran pendidikan yang ditawarkan Ibnu Sina dimana dalam proses penyusunannya mengembangkan aspek jasmani, akhlak dan intelektual peserta didik secara secara seimbang berdasarkan tahap perkembangan usianya dan juga berdasarkan kebutuhan di zaman sekarang.

3. Metode Pembelajaran 

Metode pembelajaran yang ditawarkan oleh Ibnu Sina mengalami inovasi dan perkembangan sesuai dengan kondisi dan situasi yang terjadi hari ini. 

Hal tersebut dapat dilihat dari implementasi pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA. Terdapat implementasi tiga metode Market Place Activities, Expert Group, dan Group Investigation pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Metode Market Place Activities berisikan kegiatan pembelajaran dengan cara membagi peserta didik menjadi beberapa kelompok kecil dan setiap kelompok dibekali ringkasan sub materi yang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Pendidik membuat permainan dengan cara menjadikan sub materi sebagai barang yang diperjual belikan. Setiap kelompok diberikan kesempatan untuk bertransaksi dengan peran penjual menyiapkan diri menjual barangnya (informasi materi ajar) dengan cara menjawab pertanyaan dari kelompok lain, adapun pembeli melakukan pembelian dengan cara bertanya. Namun sebelum kegiatan tersebut berlangsung, pendidik memberikan pembekalan materi dengan melibatkan media pembelajaran projector, laptop, video bahan ajar, dan menyiapkan media pembelajaran pendukung lainnya. Adapun metode Expert Group, dan Group Investigation pada dasarnya memiliki kemiripan dalam segi pembagian kelompok serta memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menggali materi dan mendiskusikannya dengan teman satu timnya. Metode pembelajaran tersebut memiliki esensi metode yang digagas oleh Ibnu Sina yakni diskusi dan penugasan dengan memusatkan kegiatan pembelajaran pada peserta didik.  

Selain itu, pembelajaran yang terdapat di Pondok Pesantren juga menerapkan metode pendidikan Islam sebagaimana yang digagas oleh Ibnu Sina. Hal tersebut dapat terlihat dari adanya tutor sebaya dalam menyampaikan pembelajaran Al-Quran yang dilakukan oleh peserta didik yang memiliki kemampuan lebih baik untuk membimbing dan mengajarkan teman-temannya yang beluk menguasai pembelajaran. Metode tersebut disebut juga metode talqin, sebagaimana yang ditawarkan Ibnu Sina Selain itu, ada juga metode demonstrasi dimana pendidik memberikan contoh seperti praktik ibadah shalat dan wudhu untuk kemudian diamati dan diikuti praktiknya oleh peserta didik.  

Penjelasan di atas merupakan beberapa contoh dari relevansi serta relevansi metode pembelajaran yang ada di Indonesia dengan pemikiran yang ditawarkan Ibnu Sina dengan melakukan inovasi dan kreativitas yang disesuaikan dengan kebutuhan serta potensi psikologi, minat dan bakat peserta didik.

4. Pendidik 

Pendidik memiliki peranan yang penting dalam proses pembelajaran. Meskipun pada dasarnya pendidik adalah orang yang mentransfer ilmu dan pengetahuannya namun segala bentuk perilaku yang dilakukan pendidik akan memberikan pengaruh dan contoh bagi peserta didik. Keteladanan yang diberikan oleh pendidik memberikan kemudahan dalam mempraktikkan dan mengimplementasikan ilmu yang dipelajari sepanjang proses pendidikan berlangsung. Hal paling mudah diamati dari pendidik ialah keteladanan dalam segi akhlak dan menjalankan amalan ibadah.  

Peranan pendidik dalam memberikan keteladanan sangat besar, sebagaimana yang ada di Pondok Pesantren. Pendidik dalam pengertian ini pengelola dan asatidz yang memberikan contoh teladan berupa perilaku baik serta sopan baik terhadap sesama asatidz maupun kepada santri. Selan itu dalam tata cara berpakaian serta penggunaan bahasa (di lingkungan MBS diwajibkan menggunakan bahasa Arab, Inggris, dan Indonesia berdasarkan jadwal mingguan dalam berkomunikasi), pendidik pun memberikan contoh sebagai pendukung terciptanya kondisi ideal demi terwujudnya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Selain asatidz, santri senior juga memiliki peranan yang besar dalam memberikan keteladanan kepada adik seniornya. Hal tersebut karena di Pondok Pesantren santri senior memiliki peran besar diantarnya sebagai tutor juga turut membantu program-program yang diselenggarakan oleh sekolah.  

Berdasarkan analisis di atas maka dapat diambil benang merah, meskipun pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan tidak dilahirkan pada masa modern, namun pemikirannya masih relevan dengan kehidupan masa kini. Beberapa pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan tentunya dapat dan sudah menjadi bahan pertimbangan dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia karena konsep pendidikan yang disampaikan Ibnu Sina sejalan dengan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dengan merelevansikan pemikiran Ibnu Sina di zaman sekarang harapannya pendidikan di Indonesia semakin berkembang dan dapat mencapai tujuan pendidikan nasional yang terdapat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. 

Penutup

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Ibnu Sina meskipun lebih dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang ilmu kedokteran, namun beliau juga merupakan salah satu tokoh muslim yang dipandang memiliki perhatian serius dalam kaitannya dengan masalah ummat, termasuk di dalamnya adalah masalah pendidikan. Beliau dilahirkan dalam lingkungan masyarakat yang menganut paham Syi’ah Ismailiyyah, akan tetapi beliau mengembangkan pemikiran dengan caranya sendiri untuk mencari suatu kebenaran. Dengan sangat rasional Ibnu Sina juga mampu menghadirkan ide-ide yang cemerlang dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, tak terkecuali ilmu tentang pendidikan.

Pandangan Ibnu Sina tentang pendidikan dapat dilihat melalui gagasannya yang apik tentang tujuan, kurikulum, metode dan konsep guru. Pada dasarnya pandangan Ibnu Sina tersebut masih sangat aktual dan relevan dengan perkembangan pendidikan modern sekarang ini. Relevansinya terletak pada upaya mempersiapkan anak didik agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan yang sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya, tanpa mengabaikan unsur akhlak al-karimah sebagai ciri-ciri dasarnya anak didik.

B. Saran-saran

Demikian  makalah yang dapat penyusun sampaikan, tentunya dalam penyusunan baik materi maupun kaidah penulisan masih banyak kekurangan, sehingga perlu saran dari pembaca pada umumnya. Atas saran dan masukan dari pembaca, kami sampaikan terima kasih. 


Daftar Pustaka

Ahmad, I., Nasution, W. N., & Mardianto. (2018). Inovasi Pembelajaran Agama Islam Pada Mata Pelajaran Fikih Muamalah di Pondok Pesantren Al-Barokah Simalungun. Jurnal Edu Religia, 2(2), 231–246.

Assegaf, Abd. Rachman. (2015). Aliran Pemikiran Pendidikan Islam: Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern. Jakarta: Rajawali Pers.

Badan Standar Nasional Pendidikan. (2010). Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI. 

Boeriswati, E. (2019). Penilaian Integratif Bahasa Indonesia Berbasis Neuroscience Suatu Tuntutan Kurikulum 2013. In Seminar Nasional Sultan Agung I (hal. 1–33). Semarang. 

Febriyanti. (2019). Kurikulum Pendidikan Tinggi di Era Globalisasi (Pergeseran dari Kurikulum Inti dan Institusional ke Kurikulum Berbasis Kompetensi). Jurnal Ta’dib, XVIII(02), 294–327. 

Hamid, A., & Sudira, P. (2013). Penanaman Nilai-Nilai Karakter Siswa SMK Salafiyah Prodi TKJ Kajen Margoyoso Pati Jawa Tengah. Jurnal Pendidikan Vokasi, 3 (2), 139– 152. https://doi.org/10.21831/jpv.v3i2.1592

Haningsih, S. (2008). Peran Strategis Pesantren, Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia. Jurnal el-Tarbawi, 1(1), 27–39. https://doi.org/10.20885/tarbawi. vol1.iss1.art3

Iqbal, Abu Muhammad. (2015). Pemikiran Pendidikan Islam: Gagasan-gagasan Besar Para Ilmuwan Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Pendidikan Republik Indonesia No. 36 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah (2018).

Ma’rifataini, L. (2018). Implementasi Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam PAI) di Sekolah Menengah Atas (SMA) 11 Bandung. Jurnal Edukasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, 16(1), 110–123. Diambil dari http://jurnaledukasikemenag.org

Manan, S. (2017). Pembinaan Akhlak Mulia Melalui Keteladanan dan Pembiasaan. Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim, 2(1), 49–65. 

Nasir, M. (2015). Kurikulum Madrasah: Studi Perbandingan Madrasah di Asia. Nadwa: Jurnal Pendidikan Islam, 9(2), 145–166. 

Nata, Abuddin, (2010). Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, Jakarta: Rajawali Pers.

Nata, Abuddin. (2000). Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo.

National Education Association. (2012). Preparing 21st Century Students for a Global Society. Diambil dari papers3://publication/uuid/644F3 9D4-2DFE-48AA-84E3-9D515342DA3A

Qamar, Mujamil. (2005). Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga.

Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Sulaeman, A. (2015). Pengembangan Kurikulum 2013 dalam Paradigma Pembelajaran Kontemporer. Jurnal Islamadina, 14(1), 71–95.

Sutrisno. (2017). Implementasi Pendidikan Karakter Di Pondok Pesantren Modern Muhammadiyah Boarding School (MBS) Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Luar Sekolah, 6(5), 509–525. Diambil dari http://journal.student.uny.ac.id/ojs /index.php/pls/article/view/8439/0

Syafe’i, I. (2017). Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter, 8(1), 61–82. 

Taklimudin, T., & Saputra, F. (2018). Metode Keteladanan Pendidikan Islam dalam Persfektif Quran. BELAJEA: Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 1–22. 

Posting Selanjutnya Posting Sebelumnya
No Comment
Tambah Komentar
comment url