1.1.a.9. Koneksi Antar Materi - Kesimpulan dan Refleksi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara
1. Hal yang saya percaya tentang murid dan pembelajaran di kelas sebelum mempelajari modul 1.1 (Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional - Ki Hajar Dewantara)
Sebelum membaca dan mempelajari modul 1.1 pada pelatihan calon guru penggerak ini saya percaya murid dan pembelajaran di kelas saya baik-baik saja. Mereka belajar dengan disiplin, mengerjakan tugas dengan baik, dan bisa menamatkan pendidikannya di SD dengan nilai yang baik serta mendapatkan sekolah yang lebih tinggi sesuai dengan keinginannya. Namun informasi dari teman-teman guru, dimata siswa saya guru yang galak, disiplin, dan tidak bisa diajak bercanda. Jika saya tidak ada karakter mereka banyak yang berubah, sehingga guru yang menggantikan merasa kewalahan. Dari sana saya berpikir bahwa ada masalah dengan siswa dalam kelas saya. Ada hal tersembunyi yang belum saya kupas. Saya merasa kecewa, atas anggapan sebagian besar siswa tersebut. Karena sebenarnya yang saya inginkan mereka disiplin dan rajin belajar, sehingga bisa menamatkan pendidikannya dengan baik dan membanggakan orang tua.
Setelah saya merefleksi, mungkin saya terlalu keras sehingga mereka tidak memiliki dorongan dari dalam dirinya sendiri untuk belajar menjadi lebih baik, namun karena rasa takut ditegur atau dibina oleh guru. Namun saya mempunyai sebuah keyakinan bahwa kedisiplinan yang saya tanamkan akan membuahkan hasil dikemudian hari.
Dalam proses pembelajaran di kelas sudah menerapkan model-model pembelajaran yang berpusat pada anak seperti inkuiri, discovery learning, kooperatif dan lain sebagainya, namun belum begitu sering mengingat materi yang padat serta persiapan untuk ujian kelulusan siswa kelas 6. Dalam hati merasa harus melakukan perubahan, namun di sisi lain takut kalau nilai siswa menurun dan mengecewakan orang tua.
2. Perubahan dari pemikiran atau perilaku saya setelah mempelajari modul 1.1 (Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional - Ki Hajar Dewantara)
Perubahan dari pemikiran atau perilaku saya setelah mempelajari modul 1.1 ini adalah sebagai berikut:
1) Saya semakin memiliki komitmen untuk mengabdikan diri dan melayani peserta didik dengan sepenuh hati. Guru bukan sekedar mengajarkan keilmuan tertentu, tapi dia juga harus dapat menjadi instrument perekat nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme, cinta tanah air, nilai religiusitas dan spritualitas. Selain itu juga guru harus menjadi tauladan bagi siswa, menjadi orang tua yang selalu membimbing anaknya, menjadi problem solver dalam setiap sumbatan pengetahuan dan wacana bagi orang-orang di sekitanya. Nilai esensial yang harus tertanam pada seorang guru sebagai sokoguru pendidikan di Indonesia adalah berfikir, berdzikir, beramal sholeh, serta mengabdi kepada masyarakat. Semboyan Ki Hajar Dewantara yang sangat bengitu melekat di benak saya adalah “Ing ngarsa sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani”. Apabila hakikat dari semboyan ini benar-benar di implementasikan dengan baik dan benar oleh diri kita, maka akan memberikan dampak positif bagi diri kita sendiri dan generasi bangsa yang akan datang.
Ing ngarso Sung Tulodo, ketika di depan memberi teladan. Hakikat dari semboyan yang pertama ini mengajak kepada guru, bahwa guru harus mampu memberikan contoh yang baik dan benar bagi siswanya, baik sikap, perbuatan maupun pola pikirnya. Apalagi seorang guru dalam kurikulum 2013 juga dituntut untuk membentuk siswa yang salah satu kompetensi intinya dapat Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya. Oleh karena itu, apabila guru memberikan teladan yang baik dan benar, maka perilaku siswa akan menjadi baik juga, bahkan mereka bisa jadi lebih baik dari pada kita. Dengan kata lain, seorang guru merupakan public figure yang akan dijadikan panutan siswanya, maka guru harus memiliki akhlak yang luhur.
Ing Madyo Mangun Karso, ketika di tengah memberikan semangat. Hakikat dari semboyan yang kedua ini mengajak kepada para guru, bahwa para guru haruslah berada di antara siswanya, dengan kata lain guru juga sebagai teman bagi siswanya. Dengan demikian, para guru dengan leluasa membimbing dan memberikan inspirasi kepada anak didiknya. Sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif dan nyaman bagi mereka.
Tut Wuri Handayani, ketika di belakang memberikan daya kekuatan. Hakikat dari semboyan yang ketiga ini mengajak kepada para guru untuk selalu memberikan arahan yang baik dan benar dalam kemajuan belajar siswanya. Oleh karena itu para guru dapat memotivasi anak didiknya untuk lebih giat dalam belajar. Dengan demikian, mereka merasa selalu diperhatikan dan selalu mendapat pikiran-pikiran positif dari diri gurunya. Sehingga mereka selalu memandang ke depan dan tidak terpaku pada kondisinya saat ini.
Ketiga semboyan ini saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Sebagai contoh, seorang guru memiliki tanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai pada siswanya. Dalam hal ini guru tidak hanya begitu saja mendorong dan mengarahkan siswanya untuk mengikuti nilai-nilai tersebut, tetapi guru juga harus memberikan contoh bagaimana nilai-nilai tersebut tertanam di dalam dirinya. Selain memberi contoh, guru juga harus mengarahkan nilai-nilai tersebut di tengah-tengah siswa dan memberi motivasi mereka untuk bertindak agar sesuai dengan nilai-nilai tersebut.
Ada satu semboyan lagi yang sangat melekat pada diri kita, yaitu Asih, Asah dan Asuh. Asih adalah mengasihi anak secara psikis agar terbentuk karakter atau jiwa yang saling menyayangi terhadap sesama. Asah adalah menajamkan intelektual atau pola pikir anak agar menjadi manusia yang cerdas dan pintar secara intelektual. Asuh adalah pemeliharaan anak secara fisik agar sehat dan kuat jasmaninya
2) Selain hal tersebut, hal yang mengubah pemikiran saya adalah salah satu filosofi Ki Hajar Dewantara tentang tujuan pendidikan yaitu menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak”. Dalam menuntun laku dan pertumbuhan kodrat anak, Ki Hajar Dewantara mengibaratkan peran pendidik seperti seorang petani atau tukang kebun. Anak-anak itu seperti biji tumbuhan yang disemai dan ditanam oleh pak tani atau pak tukang kebun di lahan yang telah disediakan. Anak-anak itu bagaikan bulir-bulir jagung yang ditanam. Bila biji jagung ditempatkan di tanah yang subur dengan mendapatkan sinar matahari dan pengairan yang baik maka meskipun biji jagung adalah bibit jagung yang kurang baik (kurang berkualitas) dapat tumbuh dengan baik karena perhatian dan perawatan dari pak tani. Demikian sebaliknya, meskipun biji jagung itu disemai adalah bibit berkualitas baik namun tumbuh di lahan yang gersang dan tidak mendapatkan pengairan dan cahaya matahari serta ‘tangan dingin’ pak tani, maka biji jagung itu mungkin tumbuh namun tidak akan optimal.
Dalam proses “menuntun”, anak diberi kebebasan namun pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar.
3) Setelah membaca modul dan melakukan literasi semua bahan bacaan yang lain terkait pemikirian filosofis Ki Hajar Dewantara, saya menjadi lebih tersadar akan dasar Pendidikan anak yang berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan “sifat” dan “bentuk” lingkungan di mana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan “isi” dan “irama”. Ki Hajar Dewantara mengelaborasi Pendidikan terkait kodrat alam dan kodrat zaman. Pendidikan anak sejatinya melihat kodrat diri anak dengan selalu berhubungan dengan kodrat zaman. Bila melihat dari kodrat zaman saat ini, pendidikan global menekankan pada kemampuan anak untuk memiliki Keterampilan Abad 21 dengan melihat kodrat anak Indonesia sesungguhnya. Pengaruh dari luar tetap harus disaring dengan tetap mengutamakan kearifan lokal budaya Indonesia. Oleh sebab itu, isi dan irama yang dimaksudkan oleh Ki Hajar Dewantara adalah muatan atau konten pengetahuan yang diadopsi, sejatinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. KHD menegaskan juga bahwa didiklah anak-anak dengan cara yang sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri.
3. Sebagai seorang guru hal yang segera diterapkan agar kelas saya mencerminkan pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah :
- Menjadi teladan bagi siswa
- Membuat program pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (membuat kesepakatan)
- Menjalin kolaborasi dengan kepala sekolah, guru sejawat, dan orang tua siswa
- Bangkit dari kebiasaan lama. Membuat hal baru dalam kelas yang dapat membangkitkan siswa untuk ingin tahu lebih mendalam berbagai hal terkait materi yang kita sampaikan. Lupakan fokus mengejar nilai yang membuat siswa terhambat untuk bereksplorasi. Belajar menjadi guru penggerak yang berani menggagas ide.
- Menjadikan suasana belajar seperti taman bermain. Suasana belajar yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cinta kasih, dan penghargaan terhadap masing-masing peserta didik. Menerapkan metode among yaitu metode yang berdasarkan pada asah, asih, dan asuh (care, dedication, love). Mendesain ruangan kelas agar lebih nyaman, penuh dengan literasi untuk mendukung suasana belajar.
- Lebih menanamkan nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme, cinta tanah air, nilai religiusitas dan spritualitas dalam setiap pembelajaran