Madrasah dan Sekolah Islam Unggulan
Madrasah dan Sekolah Islam Unggulan
LAHIRNYA
lembaga pendidikan Islam unggulan dewasa ini merupakan buah dari
gagasan modernisasi Islam di Indonesia. Pembaruan pemikiran Islam dan
pelaksanaan pendidikan Islam di tanah air tidak selalu sejalan lurus
dengan cita-cita dan semangat ajaran Islam. Islam selain dipahami
sebagai ajaran ritual dan sumber nilai, juga sebagai sumber ilmu
pengetahuan dan peradaban umat manusia. Seperti yang pernah diungkapkan
oleh HAR. Gibb, bahwa “Islam is indeed much more than a system of teology, if is complete civilization” (Islam sesungguhnya bukan hanya satu sistem teologi semata, tetapi ia merupakan peradaban yang lengkap).[1]
Pernyataan tersebut, berarti Islam merupakan agama yang aktual, relevan
dengan segala urusan manusia, termasuk di bidang pendidikan.
Dalam
konteks Indonesia, lembaga pendidikan Islam unggulan (madrasah dan
sekolah Islam) telah menemukan momentumnya pada akhir abad ke 20.
Meskipun pada awal abad tersebut telah muncul beberapa model lembaga
pendidikan Islam dengan format dan tampilan yang berbeda, untuk tidak
mengatakan modern, dari karakteristik lembaga pendidikan Islam yang ada
sebelumnya, misalnya lembaga pendidikan dibawah naungan organisasi
Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama’.
Secara
umum lembaga pendidikan Islam unggulan diformat dengan model dan gaya
modern yang mengadopsi sisi-sisi meritokrasi dengan tanpa meninggalkan
nilai-nilai pendidikan tradisional atau konvensional sebelumnya. Bahkan,
lembaga pendidikan Islam unggulan mencoba menawarkan bentuk sintesa
baru yang mengkolaborasi antara tujuan pendidikan umum dengan tujuan
pendidikan (agama) Islam yang sepadan. Bentuk sintesa ini kemudian
diiringi dengan dukungan kualitas akademik, sumber daya manusia (SDM),
sarana prasarana, sumber pendanaan yang kuat serta penciptaan lingkungan
yang baik.
Kalau
melihat gejala dan nuansa kebangkitan lembaga pendidikan Islam unggulan
(madrasah dan sekolah Islam) nampaknya pada wilayah praksis baru muncul
tahun 1980-an atau 1990-an. Baik madrasah maupun sekolah Islam unggulan
mengadopsi dari sistem pendidikan umum, yang hal itu merupakan warisan
dari sistem pendidikan kolonial Belanda, melalui modernisasi dari para
pelaku dan praktisi pendidik orang muslim dengan menambahkan porsi
materi agama Islam lebih banyak.
Eksistensi
madrasah dan sekolah Islam unggulan tersebut diharapkan mampu menjawab
tantangan dan tuntutan modernisasi, kemajuan globalisasi dan informasi.
Hadirnya lembaga pendidikan Islam unggulan dalam konstelasi nasional
sempat memancing perhatian dan perbincangan dari berbagai pakar dan ahli
pendidikan untuk menangkap makna terhadap gejala dan fenomena yang
terpendam dibalik itu. Hal ini wajar, karena sistem pendidikan nasional
masih dianggap belum mampu menunjukkan mutu pendidikan yang signifikan.
Mencuatnya resesi moral (akhlak), perkelahian, tindak anarkhis, serta berbagai tindakan menyimpang dikalangan pelajar merupakan reasoning
(pemikiran) tersendiri bagi para pelaku pendidikan untuk menghadirkan
madrasah dan sekolah Islam unggulan. Wajah baru lembaga pendidikan Islam
Unggulan tersebut, selain ingin menampilkan lulusan yang unggul di
bidang akademiknya, juga unggul di bidang akhlak dan spiritualnya. Untuk
meraih kedua misi tersebut diperlukan ”wadah baru” berupa madrasah atau
sekolah Islam yang benar-benar memberikan corak dan ciri khas yang kuat
dan handal dari segala lingkup dan komponennya.
Defenisi Madrasah dan Sekolah Islam Unggulan
Sebelum
mendefinisikan madrasah atau sekolah Islam unggulan, terlebih dahulu
penulis ingin mengemukakan tentang beberapa sebutan istilah atau term
yang barangkali memiliki makna hampir serupa. Kata lain dari ”unggulan”
seringkali disebuat dengan istilah ”model” atau ”percontohan”. Selain
itu juga ada yang memakai istilah ”terpadu”, ”laboratorium” atau
”elite”.
Beberapa
lembaga pendidikan Islam ada yang lebih senang memakai istilah ”model”
ketimbang ”unggulan”. Sehingga wajar saja kalau ada istilah
”sekolah/madrasah model”, ”sekolah/madrasah percontohan”, atau
”sekolah/madrasah terpadu”. Madrasah atau sekolah Islam model (unggulan)
merupakan representasi dari kebangkitan umat Islam untuk kalangan
menengah.[2]
Dari
segi pelabelan namanya, nampak sudah jelas dapat ditebak bahwa sekolah
atau madrasah model (unggulan) semacam itu tampil dengan penuh visi dan
inspirasi yang mengundang penasaran banyak orang. Dari segi nama,
tampaknya lebih gagah dan menjanjikan kualitas masa depan para murid.
Istilah
sekolah unggul pertama kali diperkenalkan oleh mantan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Wardiman Djojonegoro, tepatnya
setahun setelah pengangkatannya, tahun 1994. Istilah sekolah unggul
lahir dari satu visi yang jauh menjangkau ke depan, wawasan keunggulan.
Menurut Wardiman, selain mengharapkan terjadinya distribusi ilmu
pengetahuan, dengan membuat sekolah unggul ditiap-tiap propinsi,
peningkatan SDM menjadi sasaran berikutnya. Lebih lanjut, Wardiman
menambahkan bahwa kehadiran sekolah unggul bukan untuk diskriminasi,
tetapi untuk menyiapkan SDM yang berkualitas dan memiliki wawasan
keunggulan.[3]
Di lingkungan kementerian agama, definisi madrasah
unggulan adalah madrasah program unggulan yang lahir dari sebuah
keinginan untuk memiliki madrasah yang mampu berprestasi di tingkat
nasional dan dunia dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
ditunjang oleh akhlakul karimah. Sementara sekolah Islam unggulan adalah
sekolah yang dikembangkan untuk mencapai keunggulan dalam keluaran (out put) pendidikannya. Untuk mencapai keunggulan tersebut, maka masukan (input),
proses pendidikan, guru dan tenaga kependidikan, manajemen, layanan
pendidikan, serta sarana penunjangnya harus diarahkan untuk menunjang
tercapainya tujuan tersebut.
Menurut Moedjirto, setidaknya dalam praktik dilapangan terdapat tiga tipe madrasah atau sekolah Islam unggulan. Pertama, tipe madrasah atau sekolah Islam berbasis pada anak cerdas. Tipe
seperti ini sekolah atau madrasah hanya menerima dan menyeleksi secara
ketat calon siswa yang masuk dengan kriteria memiliki prestasi akademik
yang tinggi. Meskipun proses belajar-mengajar di lingkungan madrasah
atau sekolah Islam tersebut tidak terlalu istimewa bahkan biasa-biasa
saja, namun karena input siswa yang unggul, maka mempengaruhi outputnya tetap berkualitas.
Kedua, tipe madrasah atau sekolah Islam berbasis pada fasilitas. Sekolah
Islam atau madrasah semacam ini cenderung menawarkan fasilitas yang
serba lengkap dan memadahi untuk menunjang kegiatan pembelajarannya.
Tipe ini cenderung memasang tarif lebih tinggi ketimbang rata-rata
sekolah atau madrasah pada umumnya. Untuk tingkat dasar, madrasah atau
sekolah Islam unggulan di Kota Malang, misalnya, rata-rata uang
pangkalnya saja bisa sekitar lebih dari 5 hingga 10 juta. Biaya yang
tinggi tersebut digunakan untuk pemenuhan sarana dan prasarana serta
sejumlah fasilitas penunjang lainnya.
Ketiga, tipe madrasah atau sekolah Islam berbasi pada iklim belajar. Tipe
ini cenderung menekankan pada iklim belajar yang positif di lingkungan
sekolah/madrasah. Lembaga pendidikan dapat menerima dan mampu memproses
siswa yang masuk (input) dengan prestasi rendah menjadi lulusan (output)
yang bermutu tinggi. Tipe ketiga ini termasuk agak langka, karena harus
bekerja ekstra keras untuk menghasilkan kualitas yang bagus.[4]
Dari
uraian di atas dapat didefinisikan bahwa sekolah Islam atau madrasah
unggulan adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki komponen unggul,
yang tercermin pada sumber daya manusia (pendidik, tenaga kependidikan,
dan siswa) sarana prasarana, serta fasilitas pendukung lainnya untuk
menghasilkan lulusan yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
secara terampil, memiliki kekokohan spiritual (iman dan/atau Islam),
dan memiliki kepribadian akhlak mulia.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
[1] Ungkapan tersebut dikutip oleh M. Natsir dari HAR. Gibb pada salah satu karyanya berjudul “Whiter Islam”. Lihat dalam M. Natsir, Kapita Selekta (Jakarta: Bulan Bintang, 1954) Hal. 15.
[2] Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta, Logos, 1999) hal. 69-75.
[3] SINERGI, Jurnal Populer Sumber Daya Manusia, Volume 1, No. 1 Januari-Maret 1998. Hal. 15.
[4] Moedjiarto, Sekolah Unggul, (Surabaya: Duta Graha Pustaka, 2002). Hal 34.
|
Ijin copy artikel ini...