PENDIDIKAN ISLAM DI SINGAPURA
PENDIDIKAN ISLAM DI SINGAPURA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Singapura merupakan negara kecil yang berada di ujung Semenanjung Tanah Melayu. Dari awal mulanya, Singapura adalah sebuah kota imigran dari negara-negara lain, baik China, Malaysia, India dan Indonesia. Dari banyaknya etnis sehingga muncul suatu kepercayaan yang berbeda. Awal mulanya penduduk Singapura beragama yang tak jauh dari negara induknya dulu yaitu Malaysia, adapun agama tersebut adalah hindu budha.
Proses perkembangan pendidikan islam di Singapura tidak lepas dari awal mula masuknya islam di Singapura. Ini akan menjadi suatu pokok bahasan yang sangat menarik tentang bagaimana peran serta pendidikan islam yang berada di negeri Melayu tersebut.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut, kami dapat merumuskan masalah dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut:
- Bagaimana keadaan geografis negara Singapura?
- Bagaimana sejarah masuknya islam di Singapura?
- Bagaimana proses perkembangan islam di Singapura?
- Apa Problematika Pendidikan Melayu Muslim di Singapura?
- Apa peran serta Madrasah, Masjid, dan LSM di Singapura?
BAB II
PEMBAHASAN
Sekilas Tentang Singapura
Singapura adalah sebuah pulau yang terletak di ujung Semenanjung Tanah Melayu, yang awalnya bernama "Pulau Ujung" (Pu-Lo-Chung), "Salahit" Selat, dan berikutnya "Temasek", "Tumasik" (Jawa), "Tam-ma-sik" (China). Istilah Singapura sediri muncul pada tahun 1299 ketika Pangeran Sang Nila Utama singgah di pulau ini dan menemukan seekor binatang seperti Singa, sehingga pulau itu disebut Lion City (Kota Singa). Versi lain mengatakan bahwa pada abad ke-14 pulau ini menjadi tempat singgahnya para pedagang Majapahit sehingga Singapura berarti “kota” (Pura) “singgah” (Singgah).
Penduduk Negara pulau ini adalah multi etnis. Dari jumlah penduduk 4.131.200 jiwa, etnis China sebanyak 79.7%, Melayu 13.9%, India 7.9%, dan etnis lain sekitar 1.5%. dengan demikian etnis China adalah etnis mayoritas, disusul Melayu dan India. Etnis Melayu sebagian besar berasal dari imigran Sulawesi, Bawean, dan lain-lain.
Singapura menganut sistem sekuler, di mana pemerintah menerapkan netralitas terhadap semua agama yang ada. Berdasarkan hasil sensus tahun 2000, diketahui bahwa penduduk Singapura yang berumur di atas 15 tahun menganut beberapa agama, yaitu Budha 42.5%. Islam 14.9%, Kristen 14.6%, Tao 8.5%, Hindu 4.0% dan Agama lain (Yahudi, Zoroaster,dll 0.6%). Kecuali itu, masih ada sekitar 14.8% yang tidak memiliki atau menganut agama tertentu.
Sejarah Masuknya Islam ke Singapura
Islam masuk ke Singapura tidak dapat dipisahkan dari proses masuknya Islam ke Asia Tenggara secara umum, karena secara geografis Singapura hanyalah salah satu pulau kecil yang terdapat di tanah Semenanjung Melayu.
Pada fase awal, Islam yang disuguhkan kepada masyarakat Asia Tenggara lebih kental dengan nuansa tasawuf. Karena itu, penyebaran Islam di Singapura juga tidak terlepas dari corak tasawuf ini. Buktinya pengajaran tasawuf ternyata sangat diminati oleh ulama-ulama tempatan dan raja-raja Melayu. Kumpulan tarekat sufi terbesar di Singapura yang masih ada sampai sekarang ialah Tariqah ‘Alawiyyah yang terdapat di Masjid Ba’lawi. Tarekat ini dipimpin oleh Syed Hasan bin Muhammad bin Salim al-Attas.
Selain tarekat itu juga dijumpai tarekat Al-Qadiriyyah Wa al Naqshabandiyyah yang berpusat di Geylang Road yang dikelola oleh organisasi PERPTAPIS (Persatuan Taman Pengajian Islam). Tarekat ini berasal dari Suryalaya, Tasik Malaya, Jawa Barat. Gurunya bernama K.H Ahmad Tajul ‘Ariffin dan Haji Ali bin Haji Muhammad. Tarekat lainnya yang diamalkan di Republik Singapura ialah Al-Shaziliyyah, Al-Idrisiyyah, Al-Darqawiyyah dan Al-Rifa’iyyah.
Para ulama asal Yaman (Hadramaut) yang bernama Syed Abu Bakar Taha Alsaggof dalam mengembangkan Islam di Singapura sangat besar. Dialah dai dan penyebar Islam pertama era modern di negeri pulau itu dan membuka lembaga pendidikan Islam, yakni Madrasah Al-Juneid yang masih eksis sampai saat ini.
Perkembangan Islam di Singapura
Wajah Islam di Singapura tidak jauh beda dari wajah muslim di negeri jirannya, Malaysia. Banyak kesamaan, baik dalam praktek ibadah maupun dalam kultur kehidupan sehari-hari. Barangkali hal ini dipengaruhi oleh sisa warisan Malaysia, ketika Negara kecil itu resmi pisah dari induknya, Malaysia, pada tahun 1965.
Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat Singapura selalu berupaya untuk memajukan diri mereka seiring dengan kemajuan negaranya. Pemodernan pemikiran umat Islam Singapura berpengaruh pula terhadap berkurangnya mitos dan kepercayaan kepada Khufarat, sehingga semakin mulai menuju kepada cara beragama yang lebih rasional. Berdasarkan keterangan sebelumnya, Singapura modern sering dihubungkan dengan masuknya Sir Stamford Raffles ke pulau itu pada tahun 1819. Waktu itu Singapura hanya didiami oleh lebih kurang 120 orang Melayu (termasuk dari keturunan Bugis, Jawa, dan lainnya) dan 30 orang Cina.
Tahun 1901, jumlah orang Melayu itu berkembang menjadi 23.060 orang, yang terdiri dari 12.335 orang penduduk asli kepulauan Melayu, hampir 1000 orang keturunan Arab, dan 600 orang keturunan Jawa. Jumlah penduduk Singapura secara keseluruhan pada waktu itu sekitar 228.555 orang, dengan 72% etnis Cina.
Orang Melayu awalnya tinggal di kawasan Kampung Gelam yaitu suatu kawasan di pesisir sungai. Di sekitar Kampung Gelam tersebut mereka hidup secara bersamaan dengan orang-orang keturunan Bugis, Boyan, Jawa dan Arab.
Dengan demikian, secara umum muslim Singapura terbagi kepada dua kelompok besar, yaitu etnis Melayu sekitar 90%. Sisanya adalah etnis non-Melayu (India, Timur Tengah, Indonesia, dan lain-lain) sekitar 10%.
Sementara itu, pada tahun 1947 penduduknya bertambah menjadi 940.824 (115.735 Melayu dan 730.133 Cina). Pada tahun 1957 menunjukkan bahwa penduduk Singapura telah meningkat kepada 1.445.929 orang (1.090.596 Cina, 197.059 Melayu/Indonesia, 124.084 India/Pakistan dan 34.190 lainnya). Di akhir tahun 1976, jumlah penduduk Singapura adalah 2.294.900 orang (17% orang Islam dan 15% dari itu adalah orang Melayu).
Menurut istilah Sharon Siddique, muslim Singapura dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Migrant yang berasal dari dalam dan luar wilayah. Migrant dari dalam wilayah berasal dari Jawa, Sumatra, Sulawesi, Riau dan Bawean. Kelompok ini selalu diidentikkan ke dalam etnis Melayu. Adapun kelompok Migrant dari luar wilayah dibagi menjadi dua kelompok penting, yaitu muslim India yang berasal dari subkontinen India (Pantai Timur dan Pantai Selatan India) dan keturunan Arab, khususnya Hadramaut. Dengan demikian, Sharon berpandangan bahwa muslim Singapura adalah para migran.
Migran yang berasal dari luar wilayah secara umum berasal dari golongan muslim yang kaya dan terdidik. Kelompok ini pula akhirnya membentuk kelompok elit sosial dan ekonomi Singapura. Mereka mempelopori perkembangan Singapura sebagai pusat pendidikan dan penerbitan muslim. Di samping itu, mereka juga sebagai penyumbang dana terbesar untuk pembangunan mesjid, lembaga pendidikan dan organisasi social Islam lainnya. Di antara mereka itu dikenal dengan keluarga al-Segat, al-Kaff, dan al-Juneid.
Secara akademis belum ada pendapat yang pasti tentang asal usul migrant dalam wilayah. Dari beberapa kajian ada yang berpendapat mereka itu berasal dari Riau, Pahang, Terengganu, Kelantan.
Problematika Pendidikan Melayu Muslim di Singapura
Pendidikan islam di Singapura di sampaikan para ulama yang berasal dari negeri lain di Asia Tenggara atau dari Negara Asia Barat dan dari benua kecil India. Para ulama tersebut diantaranya ialah Syaikh Khatib Minangkabau, Syaikh Tuanku Mudo Wali Aceh, Syaikh Ahmad Aminuddin Luis Bangkahulu, Syaikh Syed Usman bin Yahya bin Akil (Mufti Betawi), Syaikh Habib Ali Habsyi (Kwitang Jakarta), Syaikh Anwar Seribandung (Palembang), Syaikh Mustafa Husain (Purba Baru Tapanuli), Syaukh Muhammad Jamil Jaho (Padang Panjang) dll.
Seperti di Negara lain, pendidikan agama Islam di Singapura dijalankan mengikuti tradisi dan sistem persekolahan modern. Sistem tradisional, mengikuti pola pendidikan Islam berdasarkan sistem persekolahan pondok Malaysia dan Patani atau pesantren di Indonesia.
Adapun sistem modern adalah melalui sistem sekolah yang merujuk ke Mesir dan Barat, yang dikenal dengan madrasah, sekolah Arab atau sekolah agama.
Ada empat madrasah terbesar di Singapura sampai saat ini, yaitu :
a. Madrasah al-Junied al-Islamiyyah, didirikan pada bulan muharam 1346H (1927M) oleh pangeran Al-Sayyid Umar bin Ali al-Junied dari Palembang. Mata pelajaran yang diajarkan dimadrasah ini adalah ilmu Hisab, Tarikh, Ilmu Alam, Bahasa Melayu, Bahasa Inggris, Sains, Sastra Melayu dan mata pelajaran lainnya.
b. Madrasah al-Ma’arif, didirikan pada tahun 1940-an. Pengasuh madrasah ini adalah lulusan universitas al-Azhar, Mesir dan dari kawasan Asia Barat.
c. Madrasah Wak Tanjung Al-Islamiyyah, didirikan pada tahun 1955
d. Madrasah Al-Sago (atau Al-Saqaf), didirikan pada tahun 1912 diatas tanah yang diwaqafkan oleh Sed Muhammad bin Sed Al-Saqof.
Pendidikan merupakan standarisasi penilaian secara tidak langsung yang dapat menjadi pertimbangan dalam mengkategorisasikan maju tidaknya sebuah Negara. Singapura dilihat dari faktor pendidikan tekanan bagi kaum muslim dan Melayu di Singapura sungguh-sungguh nyata. Ini terlihat dari meningkatnya pendidikan dan kemajuan ekonomi yang telah dicapai orang-orang Singapura lainnya khususnya orang-orang China yang mayoritas di negara itu.
Tekanan tersebut nampak nyata dalam tulisan-tulisan dan studi-studi yang dilakukan komunitas Muslim-Melayu sepanjang tahun 1980-an. Dilatarbelakangi sensus penduduk 1980 yang menyatakan bahwa orang-orang Melayu Singapura tertinggal di belakang etnis lain, dalam status sosial ekonomi, diskursus publik kembali diaktifkan organisasi-organisasi muslim seperti Majlis Pusat untuk menggerakkan pesan bahwa jalan keluar bagi kaum muslim adalah meningkatkan pendidikan dan kompetensi profesional. Sejalan dengan seruan itu adalah himbauan dari pemimpin-pemimpin muslim dan aktivitas-aktivitas yang berorientasi islam agar menanggulangi status sosial ekonomi mereka dalam kerangka dan prinsip-prinsip islam.
Sejauh menyangkut masalah pendidikan walau sejak tahun 1970-an pesan pentingnya pendidikan (khususnya pendidikan tinggi) sebagai katalis bagi kehidupan yang lebih layak bagi etnis Melayu telah disuarakan oleh organisasi-organisasi Melayu, kembali di intensifkan pada tahun 1981. Pada tahun itu pula didirikan Majelis Pendidikan Anak-Anak Muslim (MENDAKI) yang mengarahkan kegiatannya pada masalah pendidikan bagi anak-anak muslim. Pemimpin melayu muslim sangat berhasil dalam menarik dukungan yang besar, bukan hanya dari perhimpunan-perhimpunan atau kelompok-kelompok Melayu-muslim, tapi juga dari pemerintah. Status majlis itu kemudian meningkat menjadi yayasan tahun 1982 setelah majelis sukses melaksanakan ‘Kongres tentang Pendidikan Anak-Anak Muslim’, suatu kesempatan di mana Perdana Menteri menyampaikan suatu key note addres.
Selain itu pembentukan MENDAKI juga mempercepat kehadiran dan publikasi bahan-bahan dan karya-karya pendidikan bagi minoritas di Singapura. Karya tersebut disajikan dalam seminar dan konferenai-konferensi dan artikel-artikel yang dipublikasikan oleh MENDAKI dan lembaga-lembaga muslim lainnya seperti MUIS dan JAMIYYAH. MENDAKI misalnya, menerbitkan a collection of mendake papers (1982), suatu kompilasi dari sekitar sepulus proyek yang mencakup bermacam-macam masalah yang berkaitan dengan pendidikan bagi kaum muslim, dan MUIS menerbitkan jurnal yang pertama kali tentang masalah-masalah kaum muslim di Singapura, Fajar Islam tahun 1988 yang bertujuan untuk memahami perkembangan sosial ekonomi dan politik yang mempengaruhi kaum muslim Singapura dan menelaahnya secara cermat, obyektif dan analitik.
Mencermati masalah keterpurukan pendidikan minoritas muslim (Melayu) dari etnis Cina (non islam lain) di Singapura, terlihat bahwa etnis Cina cenderung memiliki prestasi pendidikan, dimana dengan terdapatnya halangan dan rintangan dalam pencapaian stabilitas sosio ekonomi seseorang individual melalui pendidikan Singapura periode 1959-1980, dimana kondisi ekonomi etnis China memang sudah mapan sebelum perang, akan diwarisi anak-anak mereka, sehingga pendidikan mereka juga cenderung lebih tinggi dan lebih mapan, ditambah lagi basis bahasa inggris yang mereka kuasai.
Hal semacam ini, justru terdapat bagi kebanyakan etnis melayu (muslim), karena pada periode 1960-1970 an, 60% perhasilan perkapital penduduk melayu tergolong ekonomi lemah (rendah), sementara China hanya 40% terkategorikan penduduk miskin.
Kondisi dan fakta ini, tentunya tercermin pula dalam penyaluran pendidikan di antara anak-anak muslim dengan etnis China dalam rangka memasuki sekolah menengah. Pada tahun 1983 60% pelajar-pelajar melayu disalurkan kealiran sekolah rendah (biasa), sedangkan etnis cina sebanyak 40%.
Selain jurang ekonomi yang mempengaruhi semua penduduk Singapura terdapat faktor lain yang unik kepada orang melayu dan menyababkan merekan lebih rugi dari pada orang cina. tahun 1965, kurang lebih 50% pelajar melayu mendaftarkan diri dalam program pendidikan yang diajar dalam bahasa melayu.
Sungguhpun pendidikan inggris cepat sekali menjadi popular setelah kemerdekaan singapura dari Malaysia pada 1965, para pelajar yang mulanya berbasis melayu, terpaksa mengundurkan diri. Sedangkan para pelajar melayu yang layak dan cukup kredibel dalam memasuki pendidikan menengah dipindahkan kealiran inggris dimana merekan tidak mempunyai persediaan dan kesiapan dari segi bahasa. Bagi sebagian kecil pelajaran Melayu yang layak ke Universitas banyak yang bingung dalam mengambil atau memperdalam ilmu mereka melalui kursus-kursus professional dan sains yang semuanya diajar dalam bahasa inggis. Mereka sama sekali tidak diperkenangkan untuk mengambil kursus-kursus itu, sehingga ketika mereka telah tamat dari Universitas dan ingin berkerja dengan melamarkan Ijazah yang mereka peroleh, sering kali peluang bagi para siswa aliran Melayu mendapat perlakuan yang kurang adil. Hal ini sebenarnya juga dialami oleh etnis China, mereka juga diperlakukan sebagaimana etnis Melayu, akan tetapi keunggulan China dari Melayu adalah mereka memiliki alternalif yang dapat menjembatani anak-anak mereka untuk bekerja di sektor-sektor ekonomi yang menggunakan bahasa China.
Madrasah, Masjid, dan LSM
Lembaga pendidikan Islam (madrasah) dikelola secara modern dan profesional, dengan kelengkapan perangkat keras dan lunak. Dari seluruh madrasah Islam (sebanyak enam buah, seluruhnya di bawah naungan MUIS), sistem pendidikan diterapkan dengan memadukan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Keenam madrasah itu adalah madrasah Al-Irsyad Al-Islamiah, madrasah Al-Maarif Al-Islamiah, madrasah Alsagoff Al-Islamiah, madrasah Aljunied Al-Islamiah, madrasah Al-Arabiah Al-Islamiah, dan madrasah Wak Tanjong Al-Islamiah.
Waktu penyelenggaraan belajar mengajar dimulai dari pukul 08.00 hingga 14.00. Lama waktu ini juga berlaku di sekolah-sekolah umum dan non-madrasah. Agar tidak ketinggalan dengan kemajuan teknologi, maka di setiap madrasah dibangun laboratorium komputer dan internet, serta sistem pendukung pendidikan audio converence. Selain dilengkapi fasilitas internet, setiap madrasah juga mempunyai server tersendiri bagi pengembangan pendidikan modern. "Murid dibiasakan dengan teknologi, terutama teknologi internet. Setiap hari, mereka diberi waktu dua jam untuk aplikasi dan pemberdayaan internet," jelas Mokson Mahori, Lc, guru di madrasah Al Junied Al Islamiyah. Sayangnya, pendidikan Islam baru ada dalam institusi TK hingga madrasah Aliyah (SMU). Untuk perguruan tingginya hingga kini belum ada.
Manajemen yang sama juga diterapkan dalam pengelolaan masjid. Tidak seperti yang dipahami selama ini, bahwa masjid hanya sebatas tempat ibadah mahdhoh an sich (shalat lima waktu dan shalat Jumat). Tetapi, masjid di negeri sekuler ini, benar-benar berfungsi sebagaimana zaman Rasulullah, sebagai pusat kegiatan Islam.
Saat ini di Singapura terdapat 70 masjid. Selain tempatnya yang sangat bersih dan indah, juga di ruas kanan dan kiri di setiap masjid terdapat ruangan-ruangan kelas untuk belajar agama dan kursus keterampilan. Berbagai disiplin ilmu agama diajarkan setiap siang dan sore hari. Kegiatan ceramah rohani usai juga diajarkan usai shalat shubuh atau maghrib.
Aktivitas lainnya, diskusi berbagai masalah kontemporer dan keislaman. Diskusi ini biasanya diadakan oleh organisasi remaja di setiap masjid. Dewan pengurus setiap masjid juga menerbitkan media (majalah dan buletin) sebagai media dakwah dan ukhuwah sesama muslim. Berbeda dengan di negara lainnya, para pengurus masjid digaji khusus, dan memiliki ruangan pengurus eksekutif laiknya perkantoran modern.
Keberadaan lembaga swadaya masyarakat Islam (LSM) juga tak kalah pentingnya dalam upaya menjadikan muslim dan komunitas Islam negeri itu potret yang maju dan progresif. Berbagai LSM Islam yang ada terbukti berperan penting dalam agenda-agenda riil masyarakat muslim.
Saat ini, tidak kurang dari sepuluh LSM, di antaranya adalah: Association of Muslim Professionals (AMP), Kesatuan Guru-Guru Melayu Singapura (KGMS), Muslim Converts Association (Darul Arqam), Muhammadiyah, Muslim Missionary Soceity Singapore (Jamiyah), Council for the Development of Singapore Muslim Community (MENDAKI), National University Singapore (NUS) Muslim Society, Perdaus (Persatuan dai dan ulama Singapura), Singapore Religious Teachers Association (Pergas), Mercy Relief (Center for Humanitarian), International Assembly of Islamic Studies (IMPIAN), dan Lembaga Pendidikan Alquran Singapura (LPQS).
Seluruh lembaga dan sistem manajemen profesional ini ditujukan bukan saja pada terbentuknya kualitas muslim dan komunitas Islam yang maju, moderat dan progresif, tetapi juga potret yang mampu berkompetisi dan meningkatkan citra Islam di tengah pemandangan global yang kurang baik saat ini. Model demikian inilah yang kini terus diperjuangkan agar Islam yang rahmat menjelma dalam kehidupan masyarakat Singapura.
BAB IIIPENUTUP
A. Kesimpulan
Singapura adalah sebuah pulau yang terletak di ujung Semenanjung Tanah Melayu, penduduk negara pulau ini adalah multi etnis. Singapura menganut sistem sekuler, di mana pemerintah menerapkan netralitas terhadap semua agama yang ada.
Islam masuk ke Singapura lebih kental dengan nuansa tasawuf. Buktinya pengajaran tasawuf ternyata sangat diminati oleh ulama-ulama tempatan dan raja-raja Melayu. Selain tarekat itu juga dijumpai tarekat Al-Qadiriyyah Wa al Naqshabandiyyah. Muslim Singapura terbagi kepada dua kelompok besar, yaitu etnis Melayu sekitar 90%. Sisanya adalah etnis non-Melayu (India, Timur Tengah, Indonesia, dan lain-lain) sekitar 10%.
Pendidikan agama Islam di Singapura dijalankan mengikuti tradisi dan sistem persekolahan modern. Sistem tradisional, mengikuti pola pendidikan Islam berdasarkan sistem persekolahan pondok Malaysia dan Patani atau pesantren di Indonesia.
B. Penutup
Demikian uraian yang telah kami paparkan, melalui makalah ini tentunya kami masih banyak kekurangan, khususnya dalam penulisan maupun penyusunannya, kami mohon kritik dan saran dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Munzir Hitami, 2006, “ Sejarah Islam Asia Tenggara”, Alaf Riau, Pekanbaru.
http://id.wikipedia.org/wiki/Singapura,
Http://Komunitaswakaf.Org/Web
http://kumtukul.blogspot.com
id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Islam_di_Singapura
muslim.or.id/infokajian/singapura/pengajian-rutin-islam-di-singapura.html
www.antara.co.id/arc/2007/10/27/sekolah-islam-di-singapura-akan-naikan-standar-akademis
www.eramuslim.com/berita/dunia/dianggap-menghina-islam-pengadilan-singapura-tuntut-pasangan-suami-isteri.htm
www.halamansatu.net/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=164
Zuhairini, dkk. 1994, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta :Bumi Aksara.