LOKALISASI PEKERJA SEKS KOMERSIAL
LOKALISASI PEKERJA SEKS KOMERSIAL
(Masailul Fiqhiyah)
Artinya:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".(30) Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.(31).
7. Pendapat Rais Aam PBNU dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 14 Maret 2006.
Fenomena lokalisasi Wanita Pekerja Seks Prostitusi jelas merupakan sesuatu yang dilarang agama. Akan tetapi, sebagai persoalan sosial yang sangat kompleks, prostitusi bukanlah persoalan yang mudah untuk dihilangkan. Dalam kondisi semacam itu kita dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama mafsadat, yaitu membiarkan prostitusi tidak terkontrol di tengah masyarakat atau melokalisir sehingga prostitusi bisa terkontrol. Pilihan terhadap kebijakan lokalisasi prostitusi merupakan pilihan yang didasarkan atas prinsip memilih perbuatan yang dampak buruknya lebih ringan. Dengan demikian, tinjauan Fiqh Sosial membenarkan tindakan lokalisasi terhadap para Wanita Pekerja Seks Komersial.
8. Insert Investigasi HIV/AIDS TransTV pada 27 November 2010; Perubahan Hukum karena Darurat.
Dalam fikih (hukum Islam) ada kaidah: al-dlaruratu tubih al-mahdzurat, bahwa kondisi darurat membolehkan kita untuk melakukan hal-hal yang terlarang (haram), asal dengan tujuan untuk menjaga kemaslahatan yang lebih besar. Penyebaran HIV/AIDS adalah kondisi darurat. Meski pelacuran (prostitusi) secara normatif adalah haram, tetapi ketentuan ini bisa diabaikan demi menjaga kepentingan yang lebih besar, yakni kelangsungan hidup para ibu dan masa depan generasi umat.
Fikih juga mengenal kaidah syadz al-dzara’i, yakni prinsip untuk mencegah terjadinya hal-hal yang buruk, yang akan menimbulkan kemafsadatan bagi umat. Lokalisasi adalah cara yang urgens dan “terbaik dari yang buruk” untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS terhadap para ibu rumah tangga dan anak-anak yang mereka kandung.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kaitan lokalisasi dengan prostitusi, yaitu suatu tempat perdagangan yang dibatasi bagi para pekerja seks komersial dan orang-orang yang ada di dalamnya. Adapun tujuan adanya lokalisasi bagi pekerja seks komersial yaitu mengurangi penyebaran penyakit HIV/AIDS di masyarakat luas, memudahkan kontrol pemerintah agar perbuatan seks bebas tidak menyebar luas di masyarakat, sebagai putaran perekonomian masyarakat di sekitar lokalisasi (mucikari/germo, makelar, pedagang makanan kecil dan sebagainya), dan mengurangi angka pelacuran yang berkeliaran (di jalan, hotel, dan tempat hiburan).
Prostitusi sulit dilenyapkan, akan tetapi dapat diminimalkan. Karena banyak dampak yang kurang baik dan perlu diperhatikan lagi oleh pemerintah. Dengan adanya lokalisasi ada beberapa pendapat hukum yang pro dan kontra diantaranya dari Hasil Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur, Keputusan Fatwa MUI, Pendapat Rais Aam PBNU dan Ketua Umum MUI, serta hasil Insert Investigasi HIV/AIDS TransTV.
B. Penutup
Demikian uraian yang telah kami paparkan. Makalah ini tentunya masih banyak kekurangan, khususnya dalam penulisan maupun sistematika penyusunannya. Dari kekurangan tersebut kami mohon kritik dan saran dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. 2003. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa.
http://paradigma-fiqh-sosial14-maret-2006_files/icon18_email.htm
http://regional.kompas.com/read/2010/10/27/03391121/Menggagas.Fikih.Prostitusi
http://www.aidsindonesia.or.id/aids-dan-%e2%80%9cfikih-prostitusi%e2%80%9d.html
Majalah Nahdlatul Ulama Aula. 2011.Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur.
NU Menjawab Problematika Umat. 2010.Pengurus wilayah NU Jawa Timur.
(Masailul Fiqhiyah)
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk Allah yang diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya. Yaitu dengan mematuhi semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan kata lain bahwa manusia harus selalu patuh dan tidak berbuat menyimpang agar tidak ada hukuman dari Allah.
Aqidah mengajarkan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia. Jaminan itu pada umumnya mengatur secara rinci cara berikhtiar mengelolanya. Dalam fikih mempunyai maksud penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara.
Terkait dengan hal tersebut, dalam fikih prostitusi adanya pelacuran pasti menjadi keprihatinan setiap pemimpin yang baik. Tetapi bertahan dan berkembangnya tempat pelacuran juga menunjukkan lemahnya pemimpin di daerah itu. Dengan adanya lokalisasi pekerja seks komersial, pasti akan menimbulkan pro dan kontra dari pendapat beberapa pihak yang terkait. Dalam makalah ini, kami akan menguraikan beberapa masalah tentang adanya lokalisasi pekerja seks komersial, dan tentunya ada beberapa hal yang perlu diuraikan agar makalah ini lebih sempurna.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, sehingga dapat kita rumuskan masalahnya sebagai berikut :
1) Apa pengertian Lokalisasi?
2) Apa tujuan adanya Lokalisasi?
3) Bagaimana dampak lokalisasi prostitusi bagi masyarakat?
4) Bagaimana lokalisasi pekerja seks komersial ditinjau dari aspek hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Lokalisasi diartikan sebagai pembatasan pada suatu tempat atau lingkungan. Sedangkan komersial adalah suatu bentuk niaga atau perdagangan yang bernilai tinggi, dan kadang-kadang mengorbankan nilai-nilai lain (sosial, budaya, dan sebagainya).
Dari pengertian tersebut, jika dikaitkan dengan adanya prostitusi, maka menjadi sebuah pengertian sebagai suatu tempat perdagangan yang dibatasi bagi para pekerja seks komersial dan orang-orang yang ada di dalamnya. Walaupun sebenarnya pelacuran bukan sebuah pekerjaan yang selayaknya seperti pekerjaan lain pada umumnya.
Tujuan Adanya Lokalisasi
Adapun tujuan adanya lokalisasi bagi pekerja seks komersial adalah sebagai berikut:
1. Mengurangi penyebaran penyakit HIV/AIDS di masyarakat luas;
2. Memudahkan kontrol pemerintah agar perbuatan seks bebas tidak menyebar luas di masyarakat;
3. Sebagai putaran perekonomian masyarakat di sekitar lokalisasi (mucikari/germo, makelar, pedagang makanan kecil dan sebagainya);
4. Mengurangi angka pelacuran yang berkeliaran (di jalan, hotel, dan tempat hiburan).
Dampak Adanya Lokalisasi
Prostitusi (pelacuran) adalah budaya yang sangat tua. Kita tak bisa melenyapkannya, yang paling mungkin hanya meminimalkannya saja, baik dari segi volume maupun dampak yang ditimbulkan. Tidak ada seorang wanita waras yang mau menjual dirinya, karena sebagian besar mereka (PSK) adalah terpaksa. Angel (nama samaran), yang menjalani profesinya secara mandiri (non-lokalisasi). Usianya sekitar 30-an, janda dua anak, juga punya orang tua yang sakit-sakitan. Untuk mencukupi kebutuhannya, dia menjual diri. Setiap hari, dia melayani setidaknya 3-5 lelaki hidung belang.
Lokalisasi pelacuran memang terkesan negatif, apabila lokalisasi pelacuran ditutup secara riil dapat menjaga moral masyarakat agar berperilaku baik, menjauhi larangan agama (berzina atau melacur). Namun, di sisi lain, dampaknya justru lebih buruk, yakni secara tidak langsung mempercepat penyebaran HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga, yang kemudian mereka tularkan ke janin-janin yang mereka kandung.
Contoh saja di Surabaya, ada enam lokalisasi PSK yang cukup dikenal, Dolly, Jarak, Moroseneng, Klakahrejo, Bangunsari, dan Kremil. Data pada bulan September 2010, jumlah keseluruhan PSK di 6 lokalisasi tersebut mencapai 2.800 dan 1.287 di antaranya di Dolly (Kompas edisi Jatim, 23 Oktober 2010). Bila upaya penutupan lokalisasi Dolly terwujud, betapa bertambahnya jumlah penganggur dan kemiskinan di negeri ini menjadi sesuatu yang sulit dielakkan.
Ekonom The Indonesia Economic Intellegience (IEI), Sunarsip, memperkirakan jumlah pengangguran dan kemiskinan tersebut bakal meningkat tinggi pada tahun 2010. Peningkatan itu sebesar 8 persen hingga 10 persen untuk penganggur dan 12 persen sampai 14 persen untuk tingkat kemiskinan.
Beberapa data di atas bisa saja berimbas pada munculnya dilema bagi Pemerintah Kota Surabaya dalam menyikapi keberadaan lokalisasi Dolly. Di satu sisi, mencuatnya fakta pengangguran dan kemiskinan akan menjadi bayang-bayang hitam bagi mereka. Namun, di sisi lain, manakala lokalisasi Dolly tetap dibiarkan tentu akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan generasi bangsa. Sebab, para pemuda pun akan terlibat di dalam pola hidup seks bebas yang memang telah menjadi ikon lokalisasi PSK.
Beberapa Pendapat Hukum
Secara kategorial, hukum Islam terbagi menjadi dua: hukum qath’i dan zhanni. Hukum qath’i berarti hukum yang diyakini sebagai hukum Allah. Kategori qath’i-zhanni ini diperoleh melalui pelacakan terhadap watak dan karakteristik dalil.
Sebagaimana dikatakan Abd al-Wahhab Khallaf, hukum qath’i dilahirkan dari dalil nash juz’i-qath’i, yaitu nash yang menunjuk langsung ke masalah tertentu. Sementara hukum zhanni di-ishtimbat dari dalil-dalil yang sifatnya nash juz’i-zhanni dan dalil-dalil cabang (qiyas, mashlahah mursalah, dan lainnya). Pada posisi hukum zhanni inilah fikih berada. Maka dari itu, ia melibatkan hasil ijtihad para ulama.
Karena fikih berada pada wilayah yang zhanni, kelahiran fikih harus melalui proses berpikir yang kreatif dan sungguh-sungguh untuk ”mengeluarkan” maksud yang terkandung dalam teks. Lebih-lebih bila muncul upaya untuk melahirkan fikih-fikih baru dalam merespons perkembangan zaman. Fikih prostitusi bukanlah model istimbat hukum ala pemikiran ulama klasik; tidak menyikapi suatu persoalan sebatas hitam-putih, halal-haram atau boleh-tidak boleh. Pelibatan akal pikir manusia dalam produksi fikih prostitusi adalah dalam bingkai penekanan pada pertimbangan aspek mafsadah (kerugian) dan maslahah (kebaikan).
5. Hasil Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur di Pondok Pesantren Salfiyah Sukerejo Asembagus Situbondo Tahun 1982.
Menghasilkan keputusan bahwa Pembangunan Kompleks Pelacuran tidak boleh berdasarkan pada hadits tentang amar ma’ruf nahi mungkar.
“Barang siapa melihat suatu kemungkaran hendaklah ia merubah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dengan lidahnya (ucapan), dan apabila tidak mampu juga hendaklah dengan hatinya dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim)
6. Hasil Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Pantai pijat yang di dalamnya terdapat praktek prostitusi. Pantai pijat pada dasarnya adalah suatu sarana/tempat untuk pengobatan. Oleh karena itu hukumnya mubah kecuali jika dalam pelaksanaannya terdapat hal-hal yang melanggar ketentuan syarat, maka hukumnya menjadi haram.
Dasar dari al-qur’an Surat An-Nuur ayat 30-31.
Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk Allah yang diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya. Yaitu dengan mematuhi semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan kata lain bahwa manusia harus selalu patuh dan tidak berbuat menyimpang agar tidak ada hukuman dari Allah.
Aqidah mengajarkan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia. Jaminan itu pada umumnya mengatur secara rinci cara berikhtiar mengelolanya. Dalam fikih mempunyai maksud penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara.
Terkait dengan hal tersebut, dalam fikih prostitusi adanya pelacuran pasti menjadi keprihatinan setiap pemimpin yang baik. Tetapi bertahan dan berkembangnya tempat pelacuran juga menunjukkan lemahnya pemimpin di daerah itu. Dengan adanya lokalisasi pekerja seks komersial, pasti akan menimbulkan pro dan kontra dari pendapat beberapa pihak yang terkait. Dalam makalah ini, kami akan menguraikan beberapa masalah tentang adanya lokalisasi pekerja seks komersial, dan tentunya ada beberapa hal yang perlu diuraikan agar makalah ini lebih sempurna.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, sehingga dapat kita rumuskan masalahnya sebagai berikut :
1) Apa pengertian Lokalisasi?
2) Apa tujuan adanya Lokalisasi?
3) Bagaimana dampak lokalisasi prostitusi bagi masyarakat?
4) Bagaimana lokalisasi pekerja seks komersial ditinjau dari aspek hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Lokalisasi diartikan sebagai pembatasan pada suatu tempat atau lingkungan. Sedangkan komersial adalah suatu bentuk niaga atau perdagangan yang bernilai tinggi, dan kadang-kadang mengorbankan nilai-nilai lain (sosial, budaya, dan sebagainya).
Dari pengertian tersebut, jika dikaitkan dengan adanya prostitusi, maka menjadi sebuah pengertian sebagai suatu tempat perdagangan yang dibatasi bagi para pekerja seks komersial dan orang-orang yang ada di dalamnya. Walaupun sebenarnya pelacuran bukan sebuah pekerjaan yang selayaknya seperti pekerjaan lain pada umumnya.
Tujuan Adanya Lokalisasi
Adapun tujuan adanya lokalisasi bagi pekerja seks komersial adalah sebagai berikut:
1. Mengurangi penyebaran penyakit HIV/AIDS di masyarakat luas;
2. Memudahkan kontrol pemerintah agar perbuatan seks bebas tidak menyebar luas di masyarakat;
3. Sebagai putaran perekonomian masyarakat di sekitar lokalisasi (mucikari/germo, makelar, pedagang makanan kecil dan sebagainya);
4. Mengurangi angka pelacuran yang berkeliaran (di jalan, hotel, dan tempat hiburan).
Dampak Adanya Lokalisasi
Prostitusi (pelacuran) adalah budaya yang sangat tua. Kita tak bisa melenyapkannya, yang paling mungkin hanya meminimalkannya saja, baik dari segi volume maupun dampak yang ditimbulkan. Tidak ada seorang wanita waras yang mau menjual dirinya, karena sebagian besar mereka (PSK) adalah terpaksa. Angel (nama samaran), yang menjalani profesinya secara mandiri (non-lokalisasi). Usianya sekitar 30-an, janda dua anak, juga punya orang tua yang sakit-sakitan. Untuk mencukupi kebutuhannya, dia menjual diri. Setiap hari, dia melayani setidaknya 3-5 lelaki hidung belang.
Lokalisasi pelacuran memang terkesan negatif, apabila lokalisasi pelacuran ditutup secara riil dapat menjaga moral masyarakat agar berperilaku baik, menjauhi larangan agama (berzina atau melacur). Namun, di sisi lain, dampaknya justru lebih buruk, yakni secara tidak langsung mempercepat penyebaran HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga, yang kemudian mereka tularkan ke janin-janin yang mereka kandung.
Contoh saja di Surabaya, ada enam lokalisasi PSK yang cukup dikenal, Dolly, Jarak, Moroseneng, Klakahrejo, Bangunsari, dan Kremil. Data pada bulan September 2010, jumlah keseluruhan PSK di 6 lokalisasi tersebut mencapai 2.800 dan 1.287 di antaranya di Dolly (Kompas edisi Jatim, 23 Oktober 2010). Bila upaya penutupan lokalisasi Dolly terwujud, betapa bertambahnya jumlah penganggur dan kemiskinan di negeri ini menjadi sesuatu yang sulit dielakkan.
Ekonom The Indonesia Economic Intellegience (IEI), Sunarsip, memperkirakan jumlah pengangguran dan kemiskinan tersebut bakal meningkat tinggi pada tahun 2010. Peningkatan itu sebesar 8 persen hingga 10 persen untuk penganggur dan 12 persen sampai 14 persen untuk tingkat kemiskinan.
Beberapa data di atas bisa saja berimbas pada munculnya dilema bagi Pemerintah Kota Surabaya dalam menyikapi keberadaan lokalisasi Dolly. Di satu sisi, mencuatnya fakta pengangguran dan kemiskinan akan menjadi bayang-bayang hitam bagi mereka. Namun, di sisi lain, manakala lokalisasi Dolly tetap dibiarkan tentu akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan generasi bangsa. Sebab, para pemuda pun akan terlibat di dalam pola hidup seks bebas yang memang telah menjadi ikon lokalisasi PSK.
Beberapa Pendapat Hukum
Secara kategorial, hukum Islam terbagi menjadi dua: hukum qath’i dan zhanni. Hukum qath’i berarti hukum yang diyakini sebagai hukum Allah. Kategori qath’i-zhanni ini diperoleh melalui pelacakan terhadap watak dan karakteristik dalil.
Sebagaimana dikatakan Abd al-Wahhab Khallaf, hukum qath’i dilahirkan dari dalil nash juz’i-qath’i, yaitu nash yang menunjuk langsung ke masalah tertentu. Sementara hukum zhanni di-ishtimbat dari dalil-dalil yang sifatnya nash juz’i-zhanni dan dalil-dalil cabang (qiyas, mashlahah mursalah, dan lainnya). Pada posisi hukum zhanni inilah fikih berada. Maka dari itu, ia melibatkan hasil ijtihad para ulama.
Karena fikih berada pada wilayah yang zhanni, kelahiran fikih harus melalui proses berpikir yang kreatif dan sungguh-sungguh untuk ”mengeluarkan” maksud yang terkandung dalam teks. Lebih-lebih bila muncul upaya untuk melahirkan fikih-fikih baru dalam merespons perkembangan zaman. Fikih prostitusi bukanlah model istimbat hukum ala pemikiran ulama klasik; tidak menyikapi suatu persoalan sebatas hitam-putih, halal-haram atau boleh-tidak boleh. Pelibatan akal pikir manusia dalam produksi fikih prostitusi adalah dalam bingkai penekanan pada pertimbangan aspek mafsadah (kerugian) dan maslahah (kebaikan).
5. Hasil Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur di Pondok Pesantren Salfiyah Sukerejo Asembagus Situbondo Tahun 1982.
Menghasilkan keputusan bahwa Pembangunan Kompleks Pelacuran tidak boleh berdasarkan pada hadits tentang amar ma’ruf nahi mungkar.
“Barang siapa melihat suatu kemungkaran hendaklah ia merubah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dengan lidahnya (ucapan), dan apabila tidak mampu juga hendaklah dengan hatinya dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim)
6. Hasil Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Pantai pijat yang di dalamnya terdapat praktek prostitusi. Pantai pijat pada dasarnya adalah suatu sarana/tempat untuk pengobatan. Oleh karena itu hukumnya mubah kecuali jika dalam pelaksanaannya terdapat hal-hal yang melanggar ketentuan syarat, maka hukumnya menjadi haram.
Dasar dari al-qur’an Surat An-Nuur ayat 30-31.
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ
وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اٰبَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اَخَوٰتِهِنَّ اَوْ نِسَاۤىِٕهِنَّ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُنَّ اَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلٰى عَوْرٰتِ النِّسَاۤءِ ۖوَلَا يَضْرِبْنَ بِاَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّۗ وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".(30) Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.(31).
7. Pendapat Rais Aam PBNU dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 14 Maret 2006.
Fenomena lokalisasi Wanita Pekerja Seks Prostitusi jelas merupakan sesuatu yang dilarang agama. Akan tetapi, sebagai persoalan sosial yang sangat kompleks, prostitusi bukanlah persoalan yang mudah untuk dihilangkan. Dalam kondisi semacam itu kita dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama mafsadat, yaitu membiarkan prostitusi tidak terkontrol di tengah masyarakat atau melokalisir sehingga prostitusi bisa terkontrol. Pilihan terhadap kebijakan lokalisasi prostitusi merupakan pilihan yang didasarkan atas prinsip memilih perbuatan yang dampak buruknya lebih ringan. Dengan demikian, tinjauan Fiqh Sosial membenarkan tindakan lokalisasi terhadap para Wanita Pekerja Seks Komersial.
8. Insert Investigasi HIV/AIDS TransTV pada 27 November 2010; Perubahan Hukum karena Darurat.
Dalam fikih (hukum Islam) ada kaidah: al-dlaruratu tubih al-mahdzurat, bahwa kondisi darurat membolehkan kita untuk melakukan hal-hal yang terlarang (haram), asal dengan tujuan untuk menjaga kemaslahatan yang lebih besar. Penyebaran HIV/AIDS adalah kondisi darurat. Meski pelacuran (prostitusi) secara normatif adalah haram, tetapi ketentuan ini bisa diabaikan demi menjaga kepentingan yang lebih besar, yakni kelangsungan hidup para ibu dan masa depan generasi umat.
Fikih juga mengenal kaidah syadz al-dzara’i, yakni prinsip untuk mencegah terjadinya hal-hal yang buruk, yang akan menimbulkan kemafsadatan bagi umat. Lokalisasi adalah cara yang urgens dan “terbaik dari yang buruk” untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS terhadap para ibu rumah tangga dan anak-anak yang mereka kandung.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kaitan lokalisasi dengan prostitusi, yaitu suatu tempat perdagangan yang dibatasi bagi para pekerja seks komersial dan orang-orang yang ada di dalamnya. Adapun tujuan adanya lokalisasi bagi pekerja seks komersial yaitu mengurangi penyebaran penyakit HIV/AIDS di masyarakat luas, memudahkan kontrol pemerintah agar perbuatan seks bebas tidak menyebar luas di masyarakat, sebagai putaran perekonomian masyarakat di sekitar lokalisasi (mucikari/germo, makelar, pedagang makanan kecil dan sebagainya), dan mengurangi angka pelacuran yang berkeliaran (di jalan, hotel, dan tempat hiburan).
Prostitusi sulit dilenyapkan, akan tetapi dapat diminimalkan. Karena banyak dampak yang kurang baik dan perlu diperhatikan lagi oleh pemerintah. Dengan adanya lokalisasi ada beberapa pendapat hukum yang pro dan kontra diantaranya dari Hasil Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur, Keputusan Fatwa MUI, Pendapat Rais Aam PBNU dan Ketua Umum MUI, serta hasil Insert Investigasi HIV/AIDS TransTV.
B. Penutup
Demikian uraian yang telah kami paparkan. Makalah ini tentunya masih banyak kekurangan, khususnya dalam penulisan maupun sistematika penyusunannya. Dari kekurangan tersebut kami mohon kritik dan saran dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. 2003. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa.
http://paradigma-fiqh-sosial14-maret-2006_files/icon18_email.htm
http://regional.kompas.com/read/2010/10/27/03391121/Menggagas.Fikih.Prostitusi
http://www.aidsindonesia.or.id/aids-dan-%e2%80%9cfikih-prostitusi%e2%80%9d.html
Majalah Nahdlatul Ulama Aula. 2011.Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur.
NU Menjawab Problematika Umat. 2010.Pengurus wilayah NU Jawa Timur.