KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA PEMERINTAHAN INDONESIA


PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Menurut sebuah perhitungan manusia Muslim Indonesia adalah jumlah pemeluk agam Islam terbesar di dunia. Jika dibanding dengan negara-negara Muslim lainnya. Jumlah yang besar tersebut sebenarnya merupakan sumber daya manusia dan kekuatan yang sangat besar, bila mampu dioptimalkan peran dan kualitasnya, kekuatan sumber ekonomi, kekuatan politiknya.
Namun jumlah manusia Muslim yang besar tersebut ternyata tidak mamiliki kekuatan karena belum didukung oleh kualitas dan kekompakan serta loyalitas manusia Muslim terhadap sesama, agama, dan para fakir miskin yang sebagian besar adalah kaum Muslimin juga. Kualitas manusia Muslim belum teroptimalkan secara individual apalagi secara massal. Muslim Indonesia yang sangat besar akan tetapi tidak memiliki kekuatan ideologi, kekuatan politik, kekuatan ekonomi, kekuatan budaya, dan kekuatan gerakan adalah secara tidak langsung merupakan dari hasil pola pendidikan Islam selama ini. Pola dan model pendidikan Islam yang dikembangkan selama ini masih condong pada pemberian materi yang tidak aplikatif dan praktis.
Makalah ini mencoba untuk memberikan gambaran secara global tentang pendidikan Islam Indonesia sebagai landasan awal untuk melihat moralitas bangsa di masa depan.

B. Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas maka dapat diambil kesimpulan atau rumusan masalah sebagai berikut :
1) Bagaimana sejarah pendidikan islam di Indonesia ?
2) Apa peran penting pendidikan islam di indonesia ?
3) Bagaimana kebijakan pemerintah indonesia dalam bidang pendidikan islam ?

 

PEMBAHASAN


A. Sejarah Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional

Pendidikan Islam yang dalam hal ini dapat diwakili oleh pendidikan madrasah atau dayah, surau, dan pesantren diyakini sebagai pendidikan tertua di Indonesia. Dari ketiga institusi tersebut, mempunyai beberapa pengertian, antara lain:
a. Secara fungsional trilogi sistem pendidikan tersebut dijadikan sebagai wadah untuk menggembleng mental dan moral di samping wawasan kepada para pemuda dan anak-anak untuk dipersiapkan menjadi manusia yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara.
b. Secara substansial dapat dikatakan bahwa trilogi sistem pendidikan tersebut merupakan panggilan jiwa spiritual dan religius dari para tengku, buya, dan kyai yang tidak didasari oleh motif materiil, akan tetapi murni sebagai pengabdian kepada Allah.
c. Secara operasional trilogi sistem penidikan tersebut muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai kebijakan, proyek apalagi perintah dari para sultan, raja, atau penguasa.
d. Secara mekanikal bisa dipahami dari hasil pelacakan historis bahwa trilogi sistem pendidikan di atas tumbuh secara alamiah dan memiliki anak-anak cabang yang dari satu induk mengembang ke berbagai lokasi akan tetapi masih ada ikatan yang kuat secara emosional, intelektual, dan kultural dari induknya.1

Sebelum masuknya penjajah Belanda, trilogi sistem pendidikan pribumi tersebut berkembang dengan pesat sesuai dengan perkembangan agama Islam yang berlangsung secara damai, ramah, dan santun. Perkembangan tersebut pada dasarnya merupakan bukti bagi kesadaran masyarakat Indonesia akan sesuainya model pendidikan Islam dengan nurani masyarakat dan bangsa Indonesia saat itu. Kehidupan masyarakat terasa harmonis, selaras, dan tidak saling mendominasi. Hanya saja sejak masuknya bangsa penjajah baik Spanyol, Portugis, dan Belanda dengan sifat kerakusan akan kekayaan dan materi yang luar biasa menjadikan masyarakat Indonesia tercerai berai. Terdapat sebagian masyarakat pribumi yang masih teguh dengan pendirian dan ajaran yang diperoleh di dayah, surau, dan pesantren ada juga yang sudah mulai terbuai dengan bujuk rayu para penjajah jahat tersebut.

Sebagian manusia pribumi yang menerima bujukan dan rayuan penjajah di atas adalah manusia pribumi yang telah lupa dan memang secara sadar melupakan ajaran yang mereka peroleh di tempat pendidikannya. Mereka juga dipengaruhi dengan kekayaan dari para penjajah. Bujukan dan rayuan yang manis dari para penjajah diarahkan kepada manusia pribumi yang kelihatan secara moral, kepribadian, praktik keagamaan masih lemah dan rendah.

Trilogi sistem pendidikan Islam di atas mulai dimatikan oleh penjajah. Para penjajah memandang bahwa trilogi sistem pendidikan Islam tersebut pada dasarnya bukanlah lembaga pendidikan akan tetapi hanyalah lembaga agitasi dan provokasi untuk melawana penjajahan. Dengan asumsi yang demikian, maka menjadi sangat wajar ketika penjajah berusaha untuk mengkerdilkan atau bahkan mematikannya. Di saat yang bersamaan penjajah mendirikan sistem pendidikan alam negara penjajah. Di sini telah terjadi polarisasi lembaga pendidikan yang pada awalnya hanya mengenal pendidikan tradisional, maka pada masa penajajahan ini mulai muncul sistem pendidikan modern. Di sinilah cikal-bakal mulai munculnya istilah pendidikan tradisional dan pendidikan modern. Adanya fragmentasi ini kemudian juga merembet ke dikotomisasi ilmu pengetahuan yaikni ada ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu agama dipahami sebagai ilmu-ilmu yang diberikan secara tradisional oleh trilogi sistem pendidikan Islan sedangkan ilmu umum digunakan untuk menyebut ilmu-ilmu yang diberikan oleh lembaga pendidikan modern, dalam hal ini sekolah-sekolah yang didirikan para penjajah. Adanya persaingan yang tidak seimbang antara kaum penjajah dan penduduk asli, maka sebagian besar manusia Indonesia mulai mengalami perubahan dalam kehidupannya.

Pada masa penjajahan Jepang pendidikan tradisional mulai mendapatkan angin kemajuan. Namun, semua itu tidak ada artinya karena memang penjajahan Belanda sebagai salah satu bangsa Barat atau lebih dikenal dengan bangsa Barat telah menancapkan ideologi, politk, ekonomi, budaya, dan moralitas kepada masyarakat pribumi, maka angin segar tersebut tidak mampu dimanfaatkan secara maksimal. Dengan demikian pendidikan tradisional menjadi sangat sulit untuk kembali lagi ke posisi semual, yakni sebelum adanya penjajahan bangsa Barat.2

Memasuki masa kemerdekaan pendidikan Islam masih terus berkutat dengan sistem pendidikan modern (peninggalan Belanda). Sistem pendidikan ini dipelopori oleh para tokoh pendidikan yang telah mengenyam sistem pendidikan Belanda atau Barat. Oleh karena itu, menjadi sangat masuk akal ketika sistem pendidikan nasional Indonesia berkiblat kepada sistem pendidikan Barat. Dari sinilah kemudian terjadi pemisahan antara pendidikan tradisional yang dalam hal ini bias direpresentasikan oleh pendidikan Islam dan pendidikan modern yang dalam hal ini bias direpresentasikan oleh pendidikan nasional. Kedua sistem pendidikan ini merupakan sebuah hasil kompromi para funding father negeri ini.

Kompromi yang diambil para funding father negeri ini adalah bahwa pengabaian sistem pendidikan Islam tradisional akan sangat menyakitkan umat Islam. Mengingat jasa dan pengorbanan para ulama dan santri dari trilogi sistem pendidikan Islam tersebut di atas. Pertimbangan lainnya adalah agar umat Islam memiliki lembaga pendidkkan khusus, sehingga mayoritas penduduk Indonesia tidak mengalami kekecewaan yang luar biasa kepada pemerintah. Oleh karena itu, pada masa kemerdekaan tepatnya pada 3 Januari 1946 didirikanlah Departemen Agama yang mengurusi keperluan umat Islam. Meskipun pada dasarnya Departemen Agama ini mengurusi keperluan seluruh umat beragama di Indonesia, namun melihat latar belakang pendiriannya jelas untuk mengakomodasi kepentingan dan aspirasi umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini.

Dalam masalah pendidikan, kepentingan dan keinginan umat Islam juga ditampung di Departemen ini. Namun sangat disayangkan perhatian para pemimpin negeri ini kurang begitu besar terhadap pendidikan Islam di bawah naungan Departemen Agama ini. Hal ini terbukti dengan anggaran yang sangat berbeda dengan saudar mudanya yaitu pendidikan nasional. Perbedaan perhatian dengan wujud kesenjangan anggaran ini kemudian menyebabkan munculnya perbedaan kualitas pendidikan yang berbeda. Di satu sisi lembaga-lembaga pendidikan yang di bawah departemen pendidikan nasional mengalami perkembangan cukup pesat sementara pendidikan Islam yang berada di bawah Departemen Agama kesulitan dalam mengikuti perkembangan zaman.

Sampai pada pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru pemisahan sistem dan pengelolaan pendidikan nasional dan pendidikan Islam masih dipertahankan. Artinya adalah bahwa pengelolaan pendidikan Islam masih mengalami nasib yang tidak bagus dibanding dengan saudara mudanya, pendidikan nasional. Walaupun secara substansial kedua sistem pendidikan tersebut oleh pemerintah Indonesia sendiri juga mengalami nasib yang sama buruknya, yaitu rendahnya anggaran pendidikan bila dibanding dengan negara-negara berkembang lain apalagi dibanding dengan negara-negara maju. 3

B. Berbagai Kebijaksanaan Pemerintah RI dalam Bidang Pendidikan Islam


Setelah kemerdekaan Indonesia, musuh-musuh Indonesia tidak tinggal diam bahkan berusaha untuk menjajah kembalai sehingga pada bulan oktober 1945 Ulama di Jawa memploklamirkan perang Jihad fisabilillah terhadap Belanda dan Sekutu dengan dikeluarkannya isi fatwa oleh Ulama. Fatwa tersebut memberi faedah diantaranya:
1. Para Ulama dan santri-santri dapat mempraktekan ajaran jihad fisabilillah yang sudah dikaji bertahun-tahun dalam pengajian kitab suci fiqh di pondok/madrasah.
2. Pertanggungjawaban mempertahankan kemerdekaan tanah air itu menjadi sempurna terhadap sesama manusia dan terhadap Tuhan Yang maha Esa.

Di tengah-tengah berkorbarnya revolusi fisik Pemerintah RI tetap membina pendidikan agama pada khususnya pembinaan pendidikan aama itu secara formal dipercayakan kepada departemen Agama dan Departemen P & K (Depdikbud).
Pada bulan Desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri yaitu Menteri Menteri Agama dan Menteri pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa Pendidikan Agama diberikan mulai kelas IV s.d VI SR (Sekolah Rakyat) yang setara dengan Sekolah Dasar, dengan penyempurnaan Surat Keputusan bersama pada Bulan Januari 1951 yang berisi:
1. Pendidikan Agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat/Sekolah Dasar;
2. Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (misalkan di Sumatera, Kalimantan dan lain-lain) maka pendidikan agama dimulai dari kelas I Sekolah Rakyat dengan catatan bahwa mutu pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV;
3. Di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Tingkat Atas (Umum dan Kejuruan ) diberikan Pendidikan Agama sebanyak 2 jam seminggu;
4. Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam 1 kelas dan mendapat izin dari orang tua/walinya;
5. Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.4
Serta dengan berjalannya waktu, pada tahun 1973-1978 MPR menyusun GBHN yang menegaskan bahwa Pendidikan Agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri dalam semua tingkat (Jenjang Pendidikan).

Rumusannya adalah sebagai berikut:
“Bahwa Bangsa Indonesia dalam pemerintahannya menuju kepada apa yang terkandung dalam penbukaan UUD 1945 Pembangunan Nasional dalam rangka Pembangunan manusia Indonesia dan Masyarakat Indonesia seluruhnya. Hal ini berarti adanya keserasian keseimbangan dan keselarasan antara pembangunan bidang jasmani dan rokhani, antara bidang material dan spiritual, antara bekal kedamaian dan keduniaan dan ingin berhubungan dengan Tuhan YME dengan sesama manusia dan dengan lingkungan hidupnya secara seimbang pembangunan dalam kegiatan menjadi pangkal tolak pembangunan bidang agama.”
Dalam pola umum Pelita IV bidang Agam dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dinyatakan antara lain sebagai berikut:
Kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan YME makin dikembangkan dengan demikian semakin meningkatnya dan meluasnya pembangunan, maka kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan YME harus semakin diamalkan baik di dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial dan kemasyarakatan.
Juga usaha bertambah sarana-sarana yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan YME termasuk pendidikan agama islam dimasukan dalam kurikulum di Sekolah-Sekolah Dasar sampai dengan Universitas Negeri maupun Swasta.5

C. Kebijakan Pemerintah dan Pendidikan


Pemerintah melalui Departemen Agama telah mengeluarkan kebijaksanaannya dalam pendidikan yaitu dengan SK Meneg tentang penyelenggaraan pendidikan agama. Maka berdirilah MI, MTs, Madrasah Aliyah dan IAIN dengan tujuan mencetak ulama yang dapat menjawab tantangan zaman dan memberi kesempatan kepada warga Indonesia yang mayoritas muslim mendalami ilmu agama. Ijazah pun tidak disetarakan dengan pendidikan umum sesuai dengan SK pertama tiga menteri (Meneg, Mendigbud, Mendagri). Dengan demikian lulusan madrasah disetarakan dengan lulusan sekolah umum negeri.6
Namun demikian, setelah berjalannya proses kebijakan tersebut, terbukti masih terdapat kelemahan-kelemahan, baik mutu pengajar, alumni (siswa) dan materinya, sehingga cita-cita mencetak ulama yang handal kandas di tengah jalan. Hal ini terbukti masih dominannya lulusan pesantren dalam soal keagamaan. Bahkan lulusan madrasah dikatakan serba tanggung, menjadi seorang profesional pun tidak, ulama pun tidak, tidak heran kalau banyak kritikan bahwa SK bersama tiga menteri di atas hanya sebuah upaya pengikisan Islam dan keilmuannya melalui jalur pendidikan. Sehingga pada waktunya nanti Indonesia akan mengalami kelangkaan ulama. Ini terbukti dengan menjauhnya masyarakat dari madrasah. Mereka lebih bangga menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah umum, dari pada sekolah di madrasah.

Yang lebih memperhatinkan lagi bahwa pemerintah melarang alumni pondok pesantren non kurikulum pemerintah masuk IAIN. Alasannya karena mereka tidak memiliki ijazah negeri atau karena ijazah pesantrennya tidak disetarakan dengan ijazan negeri. Akibatnya IAIN hanya diisi oleh lulusan-lulusan madrasah atau sekolah umum yang notabe mutu pendidikan agamanya sangat minim. Padahal ditengah-tengah suasana globalisasi dan keterbukaan, kualitaslah yang menjadi acuan, bukan formalitas.
Dari berbagai pendidikan tersebut, sehingga sekarang banyak ditemukan lembaga-lembaga pendidikan alternatif yang mengakomodir berbagai tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Sebagai bukti adanya sekolah-sekolah umum yang berpola seperti pesantren, adanya asrama, pola pengajaran, dan lain-lain. Akan tetapi lembaga ini tidak menggunakan nama pondok pesantren, melainkan menggunakan istilah SMP Plus, SMU Terpadu, dan sebagainya, ini karena nama pondok pesantren pada sebagian masyarakat masih dianggap ketinggalan zaman.


PENUTUP


A. Kesimpulan


Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Islam diwakili oleh pendidikan madrasah atau dayah, surau, dan pesantren. Sejak masuknya bangsa penjajah baik Spanyol, Portugis, dan Belanda dengan sifat kerakusan akan kekayaan dan materi yang luar biasa menjadikan masyarakat Indonesia tercerai berai. Pada masa penjajahan Jepang pendidikan dipelopori oleh para tokoh pendidikan yang telah mengenyam sistem pendidikan Belanda atau Barat. Sedangkan pada pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru bahwa pengelolaan pendidikan Islam masih mengalami nasib yang tidak bagus dibanding dengan pendidikan nasional. Karena rendahnya anggaran pendidikan bila dibanding dengan negara-negara berkembang lain apalagi dibanding dengan negara-negara maju. Lembaga-lembaga pendidikan Islam (pesantren) telah banyak memberi andil bagi bangsa Indonesia. Pesantren dengan kesederhanaannya masih menjadi harapan umat Islam sebagai salah satunya yaitu sebagai benteng bagi umat Islam dan keilmiahannya.

B. Saran-saran

Walau bagaimana pun tangguhnya pesantren, ia harus tetap belajar dengan lingkungan sekitarnya agar identitas keislamannya tetap terjaga. Karena pada zaman ini tak semua lulusannya mengamalkan apa yang diperolehnya selama di pesantren. Oleh karena itu perlu adanya upaya memberi Islam secara kaffah, kamil dan mutakamil. Sehingga pemahaman dan sikapnya terhadap Islam pun bersifat komprehensif dan tidak sepenggal-sepenggal. Keanekaragaman lembaga pendidikan Islam merupakan khasanah yang perlu dilestarikan. Setiap lembaga mempunyai ciri khas dan orientasi masing-masing, namun demikian harus ada satu komitmen yaitu memberi pemahaman Islam secara kaffah demi izzul Islam wa muslimin.

DAFTAR PUSTAKA


Ainurrofiq Dawam, M.A, Dr. 2004. Mencandra Trend Pendidikan Islam Indonesia Masa Kini, http://www.ditpertais.net/swara/warta16-03.asp, Swara Ditpertais: No. 16 Th. II
Senjaya, Ade. 2010. Pendidikan Islam di Indonesia, http://aadesanjaya. blogspot.com/2010/06/i-pendahuluan.html
Jamhuri, Lc.MA, K.H. M., 1969. Sejarah Pendidikan,  Bandung : CV. Ilmu
Zuhairini, Dra, 2000, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara kerjasama dengan Direktoran jendral Pembinaan Kelembagaan agama Islam.
Posting Selanjutnya Posting Sebelumnya
1 Comments
  • Heri Nofi N.
    Heri Nofi N. Sunday, March 6, 2011 at 4:19:00 PM GMT+7

    bagus

Tambah Komentar
comment url